RAhasia keajaiban




Lelaki tua itu akhirnya merenggut takdirnya. Roket-roket Yahudi mungkin telah meluluhlantakkan tubuh lumpuhnya. Tapi mereka keliru. Sebab nafas cintanya telah memekarkan bunga-bunga jihad di Palestina. Sebuah generasi baru tiba-tiba muncul ke permukaan sejarah dan hanya satu kata: jihad. Dan darahnya yang tumpah setelah fajar itu, adalah siraman Allah yang akan menyuburkan taman jihad di bumi nabi-nabi itu. Dan tulang belulang hanya akan menjadi sumbu yang menyalakan api perlawanan dalam jiwa anak-anak Palestina.
Syeikh Ahmad Yasin, lelaki tua dan lumpuh itu, adalah keajaiban cinta. Ia hanya seorang guru mengaji. Tapi dialah sesungguhnya bapak spiritual yang menyalakan api jihad di Palestina. Ia tahu, perjuangan Palestina telah dinodai para oportunis yang menjual bangsanya. Tapi ia tetap harus melawan. Dan lumpuhnya bukan halangan. Maka ia pun meniupkan nafas cintanya pada bocah-bocah Palestina yang ia ajar mengaji. Dari tadarus Quran yang hening dan khusyu itulah lahir generasi baru di bawah bendera Hamas. Palestina memang belum merdeka. Tapi ia telah merampungkan tugasnya: perang telah dimulai. Ketika akhirnya ia syahid juga, itu hanya jawaban Allah atas doa-doanya.

Lelaki tua itu mengingatkan aku pada syair Iqbal: Tak berwaktu cinta itu, kemarin dan esok terlepas daripadanya Tak bertempat ia, atas dan bawah terlepas daripadanya Bila ia mohon pada Tuhan akan keteguhan dirinya Seluruh dunia pun menjadi gunung, dan ia sendiri penuggang kuda

Sejarah adalah catatan keajaiban. Tapi cinta adalah rahasianya. Cinta adalah saat kegilaan jiwa. Begitu cinta merasuki jiwamu, kamu jadi gila. Begitu kamu gila, energimu berlipat-lipat, lalu membulat, mendidih bagai kawah yang siap meledak dan membakar semua yang ada di sekelilingnya. Begitu energimu meledak, keajaiban tercipta. Begitulah naturanya: keajaiban-keajaiban yang kita temukan dalam sejarah tercipta dalam saat-saat jiwa itu.

Legenda keadilan Umar bin Khattab adalah keajaiban. Tafsirnya adalah cintanya pada Allah dan rakyatnya telah menjadi roh kepemimpinannya. Legenda perang Khalid bin Walid adalah keajaiban. Tafsirnya juga begitu: karena ia lebih mencintai jihad ketimbang tidur bersama seorang gadis cantik di malam pengantin. Hasan Al-Banna adalah legenda dakwah yang melahirkan kebangkitan Islam modern. Tafsirnya juga begitu: ia lebih mencintai dakwahnya di atas segalanya.

Saat cinta adalah saat gila. Saat gila adalah saat keajaiban. Bumi bergetar saat sejarah mencatat keajaiban itu. Iqbal menyebut saat cinta itu sebagai saat jiwa jadi sadar-jaga.
Apabila jiwa yang sadar-jaga terlahir dalam raga, Maka persinggahan lama ini, ialah dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya.

 

Mata Air Keluhuran




Kalau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis. Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi puteranya: the power of love.

Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika perubah jadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan: putranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan, "Kalau putranya menyatakan cinta padamu, bilang padanya, 'Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.'"

Benar saja. Putra mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja-raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!

Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada disekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, deras mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.

Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah, mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekaligus tertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.

Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderal Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia berhijrah dari Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. "Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya," katanya membatin, "seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya." Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, "Besok aku akan berangkat untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepada dedengkot Fretelin untukmu." Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!

Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, "cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya," kata Ibnul Qoyyim.

 

PUNCAK KEIMANAN


Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.

Iman itu laut, cintalah ombaknya. Iman itu api, cintalah panasnya. Iamn itu angin, cintalah badainya. Iman itu salju, cintalah dinginnya. Iman itu sungai, cintalah arusnya.

Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiaanya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil, dari Ishak bin Ibrahim dari Raja' bin Amr Al Nakha'i. Seorang pemuda Kufa yang terkenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis iru sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya, "Aku datang padamu, atau kuantar cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku". Itu jelas jalan syahwat.

"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?" Gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang menggelora dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. Ia mati, akhirnya.

Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan doa-doanya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku," tanya sang gadis. "Baik-baik saja. Kamu sendiri disana bagaimana," jawabnya sambil balik bertanya. "Aku disini, dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir," jawab gadisnya. "Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu," tanya sang pemuda lagi. "Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa kepada Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.

Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.


 

ketika akhwat jatuh cinta............... Akhwat Jatuh Cinta??


Tak ada yang aneh, mereka juga adalah manusia...

Bukankah cinta adalah fitrah manusia???

Tak pantaskah akhwat jatuh cinta???

Mereka juga punya hati dan rasa...


Tapi tahukah kalian betapa berbedanya mereka saat cinta seorang lelaki menyapa hatinya???
Tak ada senyum bahagia, tak ada rona malu di wajah, tak ada buncah suka di dada...

Namun sebaliknya...

Ketika Akhwat Jatuh Cinta...

Yang mereka rasakan adalah penyesalan yang amat sangat, atas sebuah hijab yang tersingkap...
Ketika lelaki yang tak halal baginya, bergelayut dalam alam fikirannya, yang mereka rasakan adalah ketakutan yang begitu besar akan cinta yang tak suci lagi...

Ketika rasa rindu mulai merekah di hatinya, yang mereka rasakan adalah kesedihan yang tak terperih akan sbuah asa yang tak semestinya…

Tak ada senyum bahagia, tak ada rona malu…
Yang ada adalah malam-malam yang dipenuhi air mata penyesalan atas cinta-Nya yang ternodai…
Yang ada adalah kegelisahan, karena rasa yang salah arah…
Yang ada adalah penderitaan akan hati yang mulai sakit…

Ketika Akhwat Jatuh Cinta…

Bukan harapan untuk bertemu yang mereka nantikan, tapi yang ada adalah rasa ingin menghindar dan menjauh dari orang tersebut…

Tak ada kata-kata cinta dan rayuan…

Yang ada adalah kekhawatiran yang amat sangat, akan hati yang mulai merindukan lelaki yang belum halal atau bahkan tak akan pernah halal baginya…

Ketika mereka jatuh cinta, maka perhatikanlah, kegelisahan di hatinya yang tak mampu lagi memberikan ketenangan di wajahnya yang dulu teduh…

Mereka akan terus berusaha mematikan rasa itu bagaimanapun caranya…
Bahkan kendati dia harus menghilang, maka itu pun akan mereka lakukan...

Alangka kasihannya jika akhwat jatuh cinta…
Karena yang ada adalah penderitaan…

Tapi ukhti…
Bersabarlah…
Jadikan ini ujian dari Rabbmu…

Matikan rasa itu secepatnya…
Pasang tembok pembatas antara kau dan dia…
Pasang duri dalam hatimu, agar rasa itu tak tumbuh bersemai…
Cuci dengan air mata penyesalan akan hijab yang sempat tersingkap...

Putar balik kemudi hatimu, agar rasa itu tetap terarah hanya padaNya…
Pupuskan rasa rindu padanya dan kembalikan dalam hatimu rasa rindu akan cinta Rabbmu…

Ukhti… Jangan khawatir kau akan kehilangan cintanya…

Karena bila memang kalian ditakdirkan bersama, maka tak akan ada yang dapat mencegah kalian bersatu…

Tapi ketahuilah, bagaimana pun usaha kalian untuk bersatu, jika Allah tak menghendakinya, maka tak akan pernah kalian bersatu…

Ukhti… Bersabarlah… Biarkan Allah yang mengaturnya...
Maka yakinlah... Semuanya akan baik-baik saja…

Semua Akan Indah Pada Waktunya…

By: Ummu Sa'ad 'Aztriana'

 

Kendala keangkuhan


Kendala keangkuhan
Datang kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah syarat untuk menyatu dengan teks. Tapi itu juga sumber masalah manusia dengan teks. Karena sebagian besar mereka datang untuk mendebat teks. Mereka mempertanyakan keabsahan teks, atau mempertanyakan kebenaran makna teks. Itulah perdebatan antara Rasulullah SAW dengan manusia di zamannya. Itu pula yang selamanya akan menjadi perdebatan antara manusia dengan Tuhan.

Mempertanyakan keabsahan teks adalah sumber permasalahan yang melahirkan kekufuran dan kemusyrikan. Sementara mempertanyakan kebenaran makna teks adalah akar problem kaum munafiqin. Manusia cenderung mendatangi teks dengan angkuh sembari mengajukan dua pertanyaan. Pertama, benarkah ini teks dari Tuhan? Kedua, atas dasar apa seseorang bisa mengklaim diri sebagai pembawa teks dari Tuhan? Kedua pertanyaan inilah yang selamanya merintangi sebagian besar manusia untuk melihat cahaya kebenaran. Mereka mengingkari keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks.

Itulah, misalnya, yang kita saksikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Pada tahun kesepuluh dari masa nubuwah itu, perdebatan dengan teks mencapai puncaknya. Pengingkaran pada keabsahan teks dan pembawa teks menemukan momentumnya pada peristiwa yang sama sekali tidak masuk akal dalam ukuran mereka. Keabsahan teks tidak dapat dipisahkan dari keabsahan pembawa teks. Itu sebabnya jawaban Abu Bakar menyatukan keduanya ketka mengatakan: "Saya percaya kepada Muhammad (sebagai pembawa teks), maka saya percaya kepada semua yang ia katakan. Saya percaya bahwa ia membawa teks dari langit, maka saya percaya pada peristiwa yang ia ceritakan".

Jika dengan rahmat Allah manusia berhasil melewati rintangan ini, lalu mereka bermigrasi dari kekufuran menuju keimanan, maka keangkuhan intelektual itu masih menyisakan satu rintangan besar bagi mereka. Yaitu kecenderungan untuk mempertanyakan makna teks. Ini terkait dengan otoritas intelektual untuk menafsirkan teks. Misalnya debat antara Nabi Musa dengan Bani Israel tentang sapi. Keangkuhan intelektual inilah yang kelak menjadi akar dari kemunafikan seseorang setalah ia beriman. Mempertanyakan keabsahan tafsir atas teks sebenarnya hanya merupakan tipuan jiwa untuk membenarkan mengapa mereka tidak harus melaksanakan teks itu.

Sikap jiwa yang begitu itulah yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 54: "Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah".[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 234]
 

Kendala keangkuhan



Datang kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah syarat untuk menyatu dengan teks. Tapi itu juga sumber masalah manusia dengan teks. Karena sebagian besar mereka datang untuk mendebat teks. Mereka mempertanyakan keabsahan teks, atau mempertanyakan kebenaran makna teks. Itulah perdebatan antara Rasulullah SAW dengan manusia di zamannya. Itu pula yang selamanya akan menjadi perdebatan antara manusia dengan Tuhan.

Mempertanyakan keabsahan teks adalah sumber permasalahan yang melahirkan kekufuran dan kemusyrikan. Sementara mempertanyakan kebenaran makna teks adalah akar problem kaum munafiqin. Manusia cenderung mendatangi teks dengan angkuh sembari mengajukan dua pertanyaan. Pertama, benarkah ini teks dari Tuhan? Kedua, atas dasar apa seseorang bisa mengklaim diri sebagai pembawa teks dari Tuhan? Kedua pertanyaan inilah yang selamanya merintangi sebagian besar manusia untuk melihat cahaya kebenaran. Mereka mengingkari keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks.

Itulah, misalnya, yang kita saksikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Pada tahun kesepuluh dari masa nubuwah itu, perdebatan dengan teks mencapai puncaknya. Pengingkaran pada keabsahan teks dan pembawa teks menemukan momentumnya pada peristiwa yang sama sekali tidak masuk akal dalam ukuran mereka. Keabsahan teks tidak dapat dipisahkan dari keabsahan pembawa teks. Itu sebabnya jawaban Abu Bakar menyatukan keduanya ketka mengatakan: "Saya percaya kepada Muhammad (sebagai pembawa teks), maka saya percaya kepada semua yang ia katakan. Saya percaya bahwa ia membawa teks dari langit, maka saya percaya pada peristiwa yang ia ceritakan".

Jika dengan rahmat Allah manusia berhasil melewati rintangan ini, lalu mereka bermigrasi dari kekufuran menuju keimanan, maka keangkuhan intelektual itu masih menyisakan satu rintangan besar bagi mereka. Yaitu kecenderungan untuk mempertanyakan makna teks. Ini terkait dengan otoritas intelektual untuk menafsirkan teks. Misalnya debat antara Nabi Musa dengan Bani Israel tentang sapi. Keangkuhan intelektual inilah yang kelak menjadi akar dari kemunafikan seseorang setalah ia beriman. Mempertanyakan keabsahan tafsir atas teks sebenarnya hanya merupakan tipuan jiwa untuk membenarkan mengapa mereka tidak harus melaksanakan teks itu.

Sikap jiwa yang begitu itulah yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 54: "Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah".[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 234]
 

Cermin tanpa kebenaran





Begitulah susunan kejadiannya. Di awal hanya ada Al-Quran sendiri. Lalu Ia menciptakan arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia menciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah Ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian dengan urutan-urutan dan kaitan-kaitannya pada dimensi ruang dan waktu yang akan dialami makhluk-makhluk-Nya.

Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal Dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba saja sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu: Cinta!

"Maka", kata Ibnul Qoyyim dalam Taman Para Pecinta, "semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta." Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan dan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan. Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: "Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantaranya kecuali dengan kebenaran." (QS. Al Hijr, 15 : 85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau Sadam Husain. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.

Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta adalah hati yang sadar-jaga;
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran.

 


Cermin tanpa kebenaran

Begitulah susunan kejadiannya. Di awal hanya ada Al-Quran sendiri. Lalu Ia menciptakan arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia menciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah Ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian dengan urutan-urutan dan kaitan-kaitannya pada dimensi ruang dan waktu yang akan dialami makhluk-makhluk-Nya.

Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal Dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba saja sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu: Cinta!

"Maka", kata Ibnul Qoyyim dalam Taman Para Pecinta, "semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta." Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan dan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan. Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: "Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantaranya kecuali dengan kebenaran." (QS. Al Hijr, 15 : 85)
Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau Sadam Husain. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.

Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:
Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,
Tempat cinta adalah hati yang sadar-jaga;
Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,
Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;
Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran.

 

Kekuatan Perubahan


Kekuatan Perubahan

Kakinya berdarah-darah. Orang-orang thaif bukan saja menolak dakwahnya. Tapi juga menggunakan kekerasan untuk menolak dakwahnya. Setelah Quraisy menolak habis dakwahnya, dan orang-orang mulia seperti Khadijah yang menjadi tulang punggungnya wafat, kini anak-anak Thaif melemparinya batu. Sampai ia berlumuran darah. Di saat seperti itulah Jibril datang menawarkan bantuan: biar kuhancurkan mereka semua!
Menggoda betul tawaran Jibril itu. Tapi, "Tidak!" jawab Rasulullah saw kepada Jibril. "Aku bahkan memohon penangguhan untuk mereka. Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya." (H.R Bukhari dan Muslim)

Seandainya ia seorang pendendam, ia pasti menerima tawaran Jibril itu. Tapi tidak! Ia seorang pencinta. Dan ia sadar bahwa ia bisa mengubah komunitas penggembala kambing yang angkuh di jazirah Arab menjadi pemimpin-pemimpin peradaban dunia yang rendah hati. Hanya dengan kekuatan cinta. Dan itulah yang kemudian terjadi: hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, beliau merampungkan tugas kenabiannya dangan membawa seluruh jazirah kedalam cahaya Islam.

Cinta adalah kekuatan perubahan yang dahsyat. Lima belas abad kemudian, Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam proses perubahan:

"Pendekatan cinta adalah kebalikan dari pendekatan dengan kekerasan. Cinta berusaha memahami, menguatkan dan menghidupkan. Dengan cinta, seorang individu akan selalu mentransformasikan dirinya. Dia menjadi akan lebih menghargai, lebih produktif, lebih menjadi dirinya sendiri. Cinta tidak sentimental dan tidak melemahkan. Cinta adalah cara untuk mempengaruhi dan merubah sesuatu tanpa menimbulkan 'efek samping' sebagaimana kekerasan. Tidak seperti kekerasan, cinta membutuhkan kesabaran, usaha dari dalam. Lebih dari semua itu, cinta membutuhkan keteguhan hati untuk terhindar dari frustasi, untuk tetap sabar meskipun menemui banyak hambatan. Cinta lebih membutuhkan kekuatan dari dalam, kepercayaan daripada sekedar kekuatan fisik." (Cinta, Seksualitas, Monarki, Gender; 291;2002)


Kalau Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam merubah individu dan masyarakat dengan bahasa psikososial, maka Iqbal menjelaskannya dalam bait-bait puisinya:
Kekuatan cinta bukan dari tanah, air dan udara,
Kekuatannya bukan keliatan urat asalnya;
Cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
Cinta membelah badan bulan,
Cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
Menghancurkan tentara Fir'aun tanpa pertempuran.

 

Cinta tanpa definisi



Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam The Art of Loving~ tidak tertarik ~atau juga tidak sanggup~ mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.

Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang sejarah masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detail-detail nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati sayap-sayap patahnya.

Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detail-detail nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.

Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat, Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh haru biru. Padatmakna. Sarat gairah. Dan, anagonis.

Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisi: karena ~kemudian~ semua keajaiban terjawab disini.

 

Bidadaripun cemburu padamu



Saudariku …

Pernahkah engkau mendengar sabda Rasulullah SAW dan beliau tidak pernah berdusta : “Aku melihat penduduk neraka saling memakan satu sama lain dan kebanyakan dari mereka adalah wanita”

Allah SWT sesungguhnya telah menyiapkan syurga dan menyediakan istana-istana sebagai tempat tinggalmu, bahkan ada para pelayan dan malaikat untuk menyambut dan melayanimu. Malaikat yang diciptakan dari cahaya dan beribadah sepanjang waktu di tugaskan untuk melayani para penghuni surga. Adapun gambaran syurga itu sendiri tak dapat tergambarkan oleh khayalan kita dengan segala kesempurnaan kebahagiaan dan keceriaan yang terdapat di dalamnya.

Allah SWT kemudian mengutus para RasulNya dan menurunkan Kitab-kitabNya supaya manusia berjalan menuju ke SyurgaNya. Agar manusia beristirahat dari segala kelelahan dan kepenatan yang di rasakannya di dunia. Allah SWt tidak pernah menyuruh kita untuk melaksanakan sesuatu kecuali hal itu bermanfaat bagi kita, dan begitu juga sebaliknya tidak pernah Allah melarang sesuatu kecuali berbahaya bagi kita.

Lalu mengapakah banyak diantara kita yang enggan untuk menempati kediamannya di syurga, Rasulullah SAW bersabda : « Tidaklah salah seorang diantara kalian kecuali dia memiliki dua kedudukan, salah satunya di syurga dan yang lain di neraka. Apabila dia menjadi penghuni neraka maka akan tempatnya disyurga akan di gantikan orang lain ». Lalu mengapa banyak diantara kita yang memilih neraka sebagai akhir hidupnya,dan mayoritas penduduk neraka adalah kaum wanita.

Saudariku…
Lihatlah betapa Allah SWT telah mencurahkan betapa banyak nikmat yang tak pernah terputus. Pandanglah kesempurnaan ciptaan Allah dalam dirimu dan Allah SWt memberimu banyak keistimewaan dari saudaramu.
Namun kemudian dengan nikmat-nikmat Allah itu kau bermaksiat, kau tidak menutup auratmu bahkan memamerkan sebagian lekuk tubuhmu. Kau tak menjaga pandanganmu bahkan terus memandang apa-apa yang di haramkan Allah SWT. Kau tak menjaga mulutmu dari aib orang lain. Kau mendengarkan lagu-lagu picisan yang penuh dengan hawa nafsu.
Tidak takutkah kita akan suatu hari dimana semua itu di pertanyakan…!

Saudariku…
Maka tempat para wanita yang menjadi penghuni neraka tadi digantikan oleh para bidadari yang kecantikannya melebihi kecantikan seluruh wanita yang ada didunia walaupun mereka berkumpul. Wajahnya begitu sempurna tiada cacat, matanya seakan sorot lampu yang tidak redup tetapi tidak juga menyilaukan, seandainya ia turun kebumi maka cahaya matahari dan bulan pun akan terkalahkan. Seandainya ia meludah maka lautan pun akn menjadi tawar rasanya. Seandainya ia tetawa maka hati akan bergetar mendengar renyah tawanya. Allah SWt menciptakannya tanpa kekurangan sedikit pun.

Saudariku…
Tidakkah kau cemburu dengan keadaannya, Said bin Amir RA pernah berkata kepada istrinya saat isrtinya menangis tatkala ia membagikan seluruh harta pemberian Khalifah Umar bin Khattab RA kepada rakyatnya; “kamu tahu di syurga terdapat para bidadari yang apabila salah seorang dari mereka turun ke bumi maka langit dan bumi akan terisi dengan cahayanya, bahkan matahari dan rembulan seakan meredup… maka mengorbankanmu demi mereka lebih baik dari pada mengorbankan mereka demi kamu”

Bagaimana kau tidak cemburu, sedangkan Ummu Salamah istri Rasulullah SAW sendiri begitu cemburu. Ketika suatu saat Rasulullah SAW shalat dengan khusuknya membaca ayat-ayat yang bercerita tentang bidadari, Ummu Salamah tahu bahwa Rasulullah SAW sedang meminta kepada Allah agar dikaruniai bidadari. Maka seusai dari shalatnya Ummu Salamah segera mendekati Rasulullah menayakan tentang makna-makna dalam Al-Quran, sampai Ummu Salamah bertanya apakah makna dari “Kawa’iba atroba” barulah Rasulullah SAW menyadarai kecemburuannya Di akhir percakapannya ia bertanya : Apabila seorang Beriman dan taat kepada Allah SWT, apakah ia mendapatkan hal yang sama seperti para bidadari itu, dengan tanggap Rasulullah SAW menjawab : “Tentu, Bahkan ia mendapatkan lebih dari itu dan dijadikan para bidadari itu pelayan baginya” (au kama Qola bihi Rasululllah SAW ) afwan nih lupa haditsnya , soalnya pernah denger cermah di kaset sekilas aja. .

Saudariku…
Mengapakah kita masih menyia-nyiakan kesempatan yang di berikan Allah SWT. Kedudukan seorang wanita yang shalehah dan taat kepada Allah dan RasulNya juga kepada suaminya selama tidak menyuruh kepada kemungkaran adalah lebih baik daripada para Bidadari yang Allah ciptakan dari pemata. Sungguh jika engkau mau bersabar sedikit saja maka para bidadari itu akan memandangmu cemburu. Bagaimana tidak cemburu sedangkan engkau adalah wanita pilihan Allah SWt yang telah lulus menempuh ujian di dunia?, Bagaimana tidak cemburu jika Allah memberikan padamu surgaNYa yang luasnya seluas langit dan bumi?, Bagaimana tidak cemburu sedang engkau mendapat Ridha Nya?, lalu apalagi yang lebih berharga selain ridha Allah SWt?.

Saudariku…
Mungkin ini adalah nasehat terakhir yang kau terima. Sekarang saatnya kau harus memutuskan sebuah keputusan. Apakah kau mau terus berleha –leha dengan kewajibanmu atau kau akan kembali kepada Nya?, jika kau memutuskan untuk kembali kepangkuan Allah maka ketahuilah Allah akan sangat bahagia menerimamu. Dalam suatu hadisnya Rasulullah SAW menjelaskan : Bisakah engkau menjelaskan kebahagian seorang musafir yang kehilangan untanya di sebuah padang pasir yang gersang, sedang ia tidak membawa perbekalan kecuali apa yang dibawa oleh untanya, kemudian ia tertidur pulas dan disaat terbangun ia menemukan unta dan segala perbekalannya ada di hadapannya. Ia begitu bahagia sehingga berkata ; Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan Mu, musafir itu salah ucap karena kegembiraannya. Rasulullah SAW kemudian menjelaskan Allah lebih bahagia daripada musafir itu saat menerima orang – orang yang bertaubat.

Saudariku…
Tempuhlah jalan kembali kepada Nya…
Sungguh seakan aku melihat Allah SWt tersenyum kepadamu, dan pintu – pintu surga Nya terbuka menyambut kehadiranmu yang kelelahan oleh rutinitas duniawi. Sungguh seakan aku melihat para bidadari cemburu namun juga kagum dengan kehadiranmu. Engkaulah wanita yang telah berhasil menempuh ujian Allah di dunia, engkaulah wanita yang mendapat keridhaan dari Nya.

Saudariku…
Dan apabila engkau telah mendapat Hidayah dari Nya maka doakanlah hamba Nya yang faqir ini agar mendapat kekuatan untuk terus istiqamah di Jalan Nya.
Wallahu a’lam bishowab.
 

Asyik tahfidz 10 menit

TAHFIZH 10 MENIT

IIkhwan dan akhowatfillah...
Saya berharap antum-antunna semua membaca tema yang sangat penting ini agarbisa mengambil manfaat darinya dalam menghafal Al-Quran dalam 10 menit. Tidak ada istilah mustahil... antum-antunna semua bisa.
Kalau sekiranya setiap kita membuat jadual harian, niscaya kita dapatkan betapa banyak waktu kita yang terbuang sia-sia. Ketahuilah bahwasannya kita akan dihisab tentang waktu yang kita gunakan di dunia ini. Marilah kita hisab waktukita sebelum kita dihisab dihadapan Allah SWT kelak.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW; "Tidaklah berdiri tegak kedua kaki hamba Allah sehingga ia ditanya tentang 4 hal; umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia gunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan,dan ilmunya bagaimana ia mengamalkannya. .."
Karenanya saya ketengahkan cara ini untuk antum-antunna, kepada mereka yangmenghabiskan waktunya dalam kelalaian dan hanya mengisi dengan menyanyikanlagu-lagu syahwat, menonton film serta berleka-leka tanpa membawa sedikit punmanfaat...

Mungkin antum-antunna bertanya-tanya bagaimana cara menghafal Al-Quran dalam 10menit? Berikut ini saya saya jelaskan langkah-langkah menghafal 10 menit;

Menghafal Al-Quran 10 menit yang dimaksud adalah menggunakan waktu 10 menitsetelah sholat fardu lima waktu.

Antum-antunna menghafal Al-Quran satu halaman setiap harinya. Satu halamanterdiri dari 15 baris menggunakan Al-Quran Pojok Rasam Utsmaniy. Dan 1 halamandibagi 5 waktu sholat dalam sehari-semalam dengan lama waktunya masing-masing10 menit. Atau dengan kata lain antum-antunna memerlukan waktu 50 menit sahaja.

Ya hanya 50 menit... 1 jam kurang 10 menit. Jika dibandingkan dengan waktuantum-antunna sia-siakan sungguh sangat sedikit sekali. Antum-antunna hanyamenghafal 3 baris saja dalam waktu 10 menit setelah sholat fardhu. 3 baris x 5waktu = 15 baris atau sama dengan 1 halaman. Sedangkan Al-Quran pojok terdiridari 604 halaman. Berarti antum-antunna akan hafal Al-Quran dalam masakira-kira 1 tahun 8 bulan 15 hari.

Bukankah 10 menit itu mudah dan ringan bagi antum-antunna untuk melakukannya?Terlebih ia akan mengangkat kedudakan antum-antunna di sisi Alllah SWT danmakhluk-makhluk- Nya serta antum-antunna akan bersama para Malaikat yang baik danmulia.

Selanjutnya cara tersebut kita perinci sebagai berikut;
1. 10 menit setelah sholat shubuh; menghafal 3 baris = kurang lebih 20 kalimat saja. Ini seperlima bagian pertama.
2. 10 menit setelah sholat dhuhur; menghafal 3 baris. Ini seperlima bagian kedua.
3. 10 menit setelah sholat ashar; menghafal 3 baris. Ini seperlima bagian ketiga.
4. 10 menit setelah sholat maghrib; menghafal 3 baris. Ini seperlima bagian keempat.
5. 10 menit setelah sholat isya; menghafal 3 baris. Ini seperlima bagian kelima.
6. Terakhir menutup hari dengan sholat witir 3 atau 5 rakaat dan didalamnya membaca hafalan 1 halaman yang telah didapat pada hari itu. Ini sekaligus dijadikan sarana muraja'ah harian yang efektif.

TEKNIK MURAJA'AH
HARI KE-1
1. Sholat sunah Qobliyah dan ba'diyah dhuhur; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah shubuh atau hafalan seperlima bagian pertama
2. Sholat sunah Qobliyah ashar; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah dhuhur atau hafalan seperlima bagian kedua
3. Sholat sunah ba'diyah maghrib; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah ashar atau hafalan seperlima bagian ketiga
4. Sholat sunah Qobliyah isya; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah maghrib atau hafalan seperlima bagian keempat
5. Sholat sunah ba'diyah isya; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah isya atau hafalan seperlima bagian kelima
6. Sholat Witir; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat pada hari ke-1 ini atau 1 halaman penuh.


HARI KE-2
1. Sholat sunah qobliyah shubuh; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah isya hari ke-1 atau hafalan seperlima bagian kelima
2. Sholat sunah dhuha 2 rakaat; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan 1 halaman yang telah didapat pada hari ke-1.
3. Sholat sunah qobliyah dan ba'diyah dhuhur; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah shubuh atau hafalan seperlima bagian pertama hari ke-2 ini.
4. Sholat sunah qobliyah ashar; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah dhuhur atau hafalan seperlima bagian kedua hari ke-2 ini.
5. Sholat sunah ba'diyah maghrib; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah ashar atau hafalan seperlima bagian ketiga hari ke-2 ini.
6. Sholat sunah qobliyah isya; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah maghrib atau hafalan seperlima bagian keempat hari ke-2 ini.
7. Sholat sunah ba'diyah isya; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat setelah isya atau hafalan seperlima bagian kelima hari ke-2 ini.
8. Sholat sunah witir; setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan dengan membaca hafalan yang didapat pada hari ke-2 ini atau hafalan 1 halaman hari ini.
HARI KE-3 HINGGA HARI KE-6
1. Dilakukan mengikuti ritme muraja'ah hari ke-1 dan ke-2 dan begitu seterusnya
2. Sholat sunah witir dengan hafalan 2 halaman yang sudah didapat pada hari sebelumnya dan hari yang sedang berlangsung dan begitulah seterusnya.
HARI KE-7
1. Hendaknya jatuh pada malam Ahad agar dibuat program 'begadang qiyamullail' seminggu sekali dengan mengulang hafalan yang sudah didapat selama seminggu.
2. Jika antum-antunna sudah berkeluarga, boleh juga dibuat program tasmi' bersama suami/isteri dan anak-anak dalam seminggu sekali (memperdengarkan hafalan yang sudah didapat selama seminggu). Dan bagi yang belum berkeluarga, boleh juga mengundang teman-teman dan sekalian jamuan makan kalau mampu.
3. Antum-antunna ada cara lain?....silahkan di-share.


MudahBukan?
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (Qs. Al-Qomar(54) : 17, 22, 32,40)(http://layananquran.com)


 

Nikmat yang terdustakan

Pagi ini adalah pagi yang sangat indah, kicauan burung yang menghangatkan, gemercik air yang membuat suasana natural, dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyentuh dan menerpa diri. Pagi ini saya harus memaksa diri untuk olahraga, minimal jalan-jalan pagi. Karena tubuh hari ini (pekan ini) terasa memburuk sangat. Teringat pesan Abu Rabbani,” ada saatnya hak jiwa itu dilaksanakan, dan ada pula hak badan itu dilaksanakan.” Salah seorang ulama peernah mengatakan,” Sehatnya jasad ditentukan oleh sehatnya jiwa, karena walau jasad terlihat sehat, tapi jika jiwa sakit, maka jasad melemah. Begitu pula sehatnya jiwa tergantung sehatnya jasad. Sejauh apapun jiwa ini sehat, tapi jika jasad melemah, jiwa tidak akan peernah bisa memaksa sesuai dengan keadaannya, karena yang lebih dekat dengan alam dunia ialah jasad.”
Banyak hal-hal yang saya dapat ketika itu, dimulai dengan keadaan dan suasana sawah yang cukup ‘TEGAR”dengan ujian Hama tikus yang merajalela. Tikus ganas itu yang menghancurkan asa para petani yang melanda 5 desa, keadaan langit yang begitu cerah dan damai, seorang kakek yang berbincang hangat dengan saya sambil menunggu sang kerbau datang untuk melaksanakan tugah hariannya, dan pemaksaan senyum dan belajar untuk mengaplikasikan buku yang say abaca sekarang,”Membuta orang jatuh cinta dalam satu detik” membuat saya semakin tersungkur malau kepada Rabb.
Ada sesuatu yang saya lupakan, ada sesuatu yang saya harus ingat-ingat kembali, yaitu tentang nikmat dari Allah. Nikmat di pagi hari, nikmat berada di suasana desa yang tercinta. Mungkin itulah saya lebih senang berada disini, jauh dari hiruk pikuk dunia yang gemerlap, jauh dari kebisingan mesin-mesin berat, jauh dari bangunan-bangunan kantor yang “menyombongkan diri”. Sebab bagi saya, keberlarutan kita terhadap era modern ini membuat kita lupa dengan dulu, membuat kita berambisi yang menciptakan kesombongan, membuat kita semakin jaya seolah-olah hasil dari jerih payah tangan mereka sendiri tanpa melibatkan “tangan” Allah di dalamnya.
Sungguh berbeda dengan suasana desa. Ada keakraban disana, ada kehangatan komunikasi disana, karena mereka jauh dari kesombongan (walau sombong juga ada), senyum yang tulus, buka senyum yang penuh konspirasi, suasana alam yang mampu mendekatkan kita terhadap kenyataan kita berasal dari alam, dan alam dekat dengan Pencipta. Penelitian ahli psikologi modernpun mengatakan,bahwa banyak sekali orang-orang yang stress di dunia ini, dan pengobatan yang sangat manjur adalah dekatkan dengan alam, walau jika susah medekatkan secara nyata, dekatkanlah ia dengan suasana palsu”. Kemudian muncullah instrument natural, suara gemercik air, sepoi angin, suasana kicauan burung dsb sebagai jawaban akan “back to natural”itu. Dan walhasil mereka sembuh dengan solusi itu. Lalu kemudian mengapa kita yang sangat dekat dengan alam itu malah tidak menghargainya???
Fabiayyi ‘alaa irobbikuma tukadzdziban??? Nikmat manakah yang kau dustakan???
Segala puji Bagi Allah, Sholawat an salam tercurah kepada Rasulullah….
(24 juli 2010, saat olahraga pagi)

 
Pagi ini adalah pagi yang sangat indah, kicauan burung yang menghangatkan, gemercik air yang membuat suasana natural, dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menyentuh dan menerpa diri. Pagi ini saya harus memaksa diri untuk olahraga, minimal jalan-jalan pagi. Karena tubuh hari ini (pekan ini) terasa memburuk sangat. Teringat pesan Abu Rabbani,” ada saatnya hak jiwa itu dilaksanakan, dan ada pula hak badan itu dilaksanakan.” Salah seorang ulama peernah mengatakan,” Sehatnya jasad ditentukan oleh sehatnya jiwa, karena walau jasad terlihat sehat, tapi jika jiwa sakit, maka jasad melemah. Begitu pula sehatnya jiwa tergantung sehatnya jasad. Sejauh apapun jiwa ini sehat, tapi jika jasad melemah, jiwa tidak akan peernah bisa memaksa sesuai dengan keadaannya, karena yang lebih dekat dengan alam dunia ialah jasad.”
Banyak hal-hal yang saya dapat ketika itu, dimulai dengan keadaan dan suasana sawah yang cukup ‘TEGAR”dengan ujian Hama tikus yang merajalela. Tikus ganas itu yang menghancurkan asa para petani yang melanda 5 desa, keadaan langit yang begitu cerah dan damai, seorang kakek yang berbincang hangat dengan saya sambil menunggu sang kerbau datang untuk melaksanakan tugah hariannya, dan pemaksaan senyum dan belajar untuk mengaplikasikan buku yang say abaca sekarang,”Membuta orang jatuh cinta dalam satu detik” membuat saya semakin tersungkur malau kepada Rabb.
Ada sesuatu yang saya lupakan, ada sesuatu yang saya harus ingat-ingat kembali, yaitu tentang nikmat dari Allah. Nikmat di pagi hari, nikmat berada di suasana desa yang tercinta. Mungkin itulah saya lebih senang berada disini, jauh dari hiruk pikuk dunia yang gemerlap, jauh dari kebisingan mesin-mesin berat, jauh dari bangunan-bangunan kantor yang “menyombongkan diri”. Sebab bagi saya, keberlarutan kita terhadap era modern ini membuat kita lupa dengan dulu, membuat kita berambisi yang menciptakan kesombongan, membuat kita semakin jaya seolah-olah hasil dari jerih payah tangan mereka sendiri tanpa melibatkan “tangan” Allah di dalamnya.
Sungguh berbeda dengan suasana desa. Ada keakraban disana, ada kehangatan komunikasi disana, karena mereka jauh dari kesombongan (walau sombong juga ada), senyum yang tulus, buka senyum yang penuh konspirasi, suasana alam yang mampu mendekatkan kita terhadap kenyataan kita berasal dari alam, dan alam dekat dengan Pencipta. Penelitian ahli psikologi modernpun mengatakan,bahwa banyak sekali orang-orang yang stress di dunia ini, dan pengobatan yang sangat manjur adalah dekatkan dengan alam, walau jika susah medekatkan secara nyata, dekatkanlah ia dengan suasana palsu”. Kemudian muncullah instrument natural, suara gemercik air, sepoi angin, suasana kicauan burung dsb sebagai jawaban akan “back to natural”itu. Dan walhasil mereka sembuh dengan solusi itu. Lalu kemudian mengapa kita yang sangat dekat dengan alam itu malah tidak menghargainya???
Fabiayyi ‘alaa irobbikuma tukadzdziban??? Nikmat manakah yang kau dustakan???
Segala puji Bagi Allah, Sholawat an salam tercurah kepada Rasulullah….
(24 juli 2010, saat olahraga pagi)

 

Hidup memberi

Hidup adalah pilihan, pilihan untuk hidup. Hidup itu batu pijakan-pijakan untuk mengahntarkan kita kepada cita-cita hakiki. Dan semuanya dikehendaki oleh Allah yang Maha berkehendak. Akhir perjalanan kita (mau ataupun tidak mau) harus diselaraskan dengan-Nya. Pijakan-pijakan itu batu loncatan. Loncatan untuk naik ke jenjang berikutnya. Menjadi lebih baik, bermartabat, dan mulia derajatnya. Dan akhirnyapun kita harus memilih, kita harus membuat pilihan untuk kearah sana.
Bagi saya, pilihan-pilihan yang terpampang didepan adalah pilihan yang baik semua, hampir tidak ada cacat di dalamnya. Mengabdi dipondok, mengajar anak-anak baca al-quran, menyadarkan umat, mengisi halaqoh di sekolah-sekolah itu semua membuat saya hidup sebenarnya. Setelah itu datang tawaran menjadi pengajar di rumah tahfidz yusuf manshur, menjadi Imam di Islamic center, dan tawaran kerja yang lainnya, dan banyak pula tawaran melanjutkan study. Namun itu semua membuat saya bingung mana yang harus dipilih, mana yang harus diprioritaskan waktu itu. Akhirnya karena saya (sedikit hafal dan bisa sedikit sangkaan2) hancurlah semua pilihan-pilihan itu, lalu munculah kesan “PLIN PLAN” dalam diri saya dari orang lain.
Sejujurnya saya menyangkal itu, tapi mungkin memang kenyataannya seperti itu. Tapi argument saya begitu kuat dalam hal ini, pendekatan yang rasionalistis, pendekatan yang jarang ditemukan orang (sewaktu mereka bertahan hidup), dan pendekata yang terkesan “aneh dan Gila” kata orang. Siapa yang tidak dikatakan aneh jika ternyata jika ia mengambil pilihan itu, bergaji besar, terlihat berilmu di depan orang??? Siapa yang tidak aneh jika title “terkenal” malah saya tidak mengambilnya??? Siapa pula yang tidak aneh ketika malah peluang didepan mata, malah saya berikan kepada teman/sahabat saya???apakah itu bisa dikatakan tidak meninggalkan peluang???
Banyak sangkaan pada saya terhadap itu, tapi saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah melihat pilihan-pilihan saya. Dia maha melihat apa yang sebenarnya saya inginkan. Semuanya tersandarkan kepada kecintaan saya terhadap teman-teman dekat saya. Saya harus berniat itsar (mementingkan mereka) terhadap mereka. Saya harus menghadirkan peluang itu kemudian untuk dihadirkan kepada mereka. Disadari ataupun tidak, berterimakasih ataupun tidak, itu tidak masalah. Saya berbahagia jika teman dekat itu bahagia, senyum kesenanangan, dan dekat bersama-Nya. Saya tidak mau jika mereka kusut, sedih mendalam, merasa terhimpit dengan kehidupannya.
Al-hamdulilah, sedikit demi sedikit harapan saya pada mereka tuntas sudah, dan itulah mungkin awal saya member cinta pada mereka. insyaAllah akan terus memberi cinta kepada mereka. Tapi ada satu hal yang itu semua tidak boleh berlarut-larut dalm kehidupan saya. Saya tidak banyak memberi, tapi jangan sibuk dengan orang lain, tapi harus diperhatikan tentang diri sendiri. Saya harus mengais dan memetik harapan saya. Saya harus menggapai angan-angan yang teratur itu. Sedikit demi sedikit terjawab sudah betapa Allah selalu menolong saya. Dan foKus keinginan saya kali ini adalah bisa ……. dengan baik dan lancar. Fokus saya mendorong untuk melanjutkan study tentang hal itu. Dan peluang itu diberikan, Ya, mungkin itulah perjuangan yang saya harus azzamkan. Harus masuk kesana dan belajar disana.
Tapi, semua itu sesuai dengan kehendak-Nya. Ya Rabb, jika itu ternyata batu loncatan saya, berilah saya kesempatan untuk kesana. Betahkanlah hamba disana, dan buatkanlah dengan sesegera mungkin Kehidupan dakwah untuk saya. Karena Asa yang selanjutnya adalah belajar ke timur Tengah. Ya Rabb, entahlah apakah ini hanya angan-angan atau harapan yang sempet tertunda. Tapi akan berusaha ya Rabb.
Rabb, tanpa kekuatann-Mu aku bukanlah apa-apa..
Tanpa pertolongan-Mu saya mungkin tersesat,,
Tanpa Karunia-Mu aku tidak pernah bersyukur….
Jadikanlah kecintaanku kepada-Mu adalah suatu kekuatan yang full power
Jadikan pula rindu kepada Rasulullah sebagai cambuk semangat dalam menjalankan sunnahnya…
Ya Rabb, maafkanlah aku…
 

Hidup memberi

Hidup adalah pilihan, pilihan untuk hidup. Hidup itu batu pijakan-pijakan untuk mengahntarkan kita kepada cita-cita hakiki. Dan semuanya dikehendaki oleh Allah yang Maha berkehendak. Akhir perjalanan kita (mau ataupun tidak mau) harus diselaraskan dengan-Nya. Pijakan-pijakan itu batu loncatan. Loncatan untuk naik ke jenjang berikutnya. Menjadi lebih baik, bermartabat, dan mulia derajatnya. Dan akhirnyapun kita harus memilih, kita harus membuat pilihan untuk kearah sana.
Bagi saya, pilihan-pilihan yang terpampang didepan adalah pilihan yang baik semua, hampir tidak ada cacat di dalamnya. Mengabdi dipondok, mengajar anak-anak baca al-quran, menyadarkan umat, mengisi halaqoh di sekolah-sekolah itu semua membuat saya hidup sebenarnya. Setelah itu datang tawaran menjadi pengajar di rumah tahfidz yusuf manshur, menjadi Imam di Islamic center, dan tawaran kerja yang lainnya, dan banyak pula tawaran melanjutkan study. Namun itu semua membuat saya bingung mana yang harus dipilih, mana yang harus diprioritaskan waktu itu. Akhirnya karena saya (sedikit hafal dan bisa sedikit sangkaan2) hancurlah semua pilihan-pilihan itu, lalu munculah kesan “PLIN PLAN” dalam diri saya dari orang lain.
Sejujurnya saya menyangkal itu, tapi mungkin memang kenyataannya seperti itu. Tapi argument saya begitu kuat dalam hal ini, pendekatan yang rasionalistis, pendekatan yang jarang ditemukan orang (sewaktu mereka bertahan hidup), dan pendekata yang terkesan “aneh dan Gila” kata orang. Siapa yang tidak dikatakan aneh jika ternyata jika ia mengambil pilihan itu, bergaji besar, terlihat berilmu di depan orang??? Siapa yang tidak aneh jika title “terkenal” malah saya tidak mengambilnya??? Siapa pula yang tidak aneh ketika malah peluang didepan mata, malah saya berikan kepada teman/sahabat saya???apakah itu bisa dikatakan tidak meninggalkan peluang???
Banyak sangkaan pada saya terhadap itu, tapi saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah melihat pilihan-pilihan saya. Dia maha melihat apa yang sebenarnya saya inginkan. Semuanya tersandarkan kepada kecintaan saya terhadap teman-teman dekat saya. Saya harus berniat itsar (mementingkan mereka) terhadap mereka. Saya harus menghadirkan peluang itu kemudian untuk dihadirkan kepada mereka. Disadari ataupun tidak, berterimakasih ataupun tidak, itu tidak masalah. Saya berbahagia jika teman dekat itu bahagia, senyum kesenanangan, dan dekat bersama-Nya. Saya tidak mau jika mereka kusut, sedih mendalam, merasa terhimpit dengan kehidupannya.
Al-hamdulilah, sedikit demi sedikit harapan saya pada mereka tuntas sudah, dan itulah mungkin awal saya member cinta pada mereka. insyaAllah akan terus memberi cinta kepada mereka. Tapi ada satu hal yang itu semua tidak boleh berlarut-larut dalm kehidupan saya. Saya tidak banyak memberi, tapi jangan sibuk dengan orang lain, tapi harus diperhatikan tentang diri sendiri. Saya harus mengais dan memetik harapan saya. Saya harus menggapai angan-angan yang teratur itu. Sedikit demi sedikit terjawab sudah betapa Allah selalu menolong saya. Dan foKus keinginan saya kali ini adalah bisa ……. dengan baik dan lancar. Fokus saya mendorong untuk melanjutkan study tentang hal itu. Dan peluang itu diberikan, Ya, mungkin itulah perjuangan yang saya harus azzamkan. Harus masuk kesana dan belajar disana.
Tapi, semua itu sesuai dengan kehendak-Nya. Ya Rabb, jika itu ternyata batu loncatan saya, berilah saya kesempatan untuk kesana. Betahkanlah hamba disana, dan buatkanlah dengan sesegera mungkin Kehidupan dakwah untuk saya. Karena Asa yang selanjutnya adalah belajar ke timur Tengah. Ya Rabb, entahlah apakah ini hanya angan-angan atau harapan yang sempet tertunda. Tapi akan berusaha ya Rabb.
Rabb, tanpa kekuatann-Mu aku bukanlah apa-apa..
Tanpa pertolongan-Mu saya mungkin tersesat,,
Tanpa Karunia-Mu aku tidak pernah bersyukur….
Jadikanlah kecintaanku kepada-Mu adalah suatu kekuatan yang full power
Jadikan pula rindu kepada Rasulullah sebagai cambuk semangat dalam menjalankan sunnahnya…
Ya Rabb, maafkanlah aku…
 

Murabbi

Seperti inilah seharusnya….

Ibnu abbas pernah memegang tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit.
“Beginilah yang kami lakukan terhadap orang-orang yang berilmu.” (minhajul Qashidin).

Terkadang sedih itu selalu menurunkan energiku, membuat aku lemah semangat, menguras daya pikirku. Betapa keherananku sanggup membuat pandangan yang berbeda dan bahkan sempat menilai dari ukuran bagaimana kita bersikap. Entah apa yang mencokol dipikiran kita, sejauh mana pemahaman kita terhadap ilmu itu, tentang perjuangan, tentang keutamaan, dan tentang efek yang ditimbulkan.
Entah bagaimana bersikap, karena mungkin saja ternyata jalan baginya terasa mudah dan harganya terjangkau atau bahkan gratis, ternyata malah membuat kita merasa surut dalam pencapaiannya.proses sangat mudah itu ternyata tidak membuat kita semakin giat belajar…kita malas tak bertepi.
Seperti apakah kita menyikapi ilmu itu???
Kita yang membutuhkan atau guru yang membutuhkan? Kenapa kita tidak menghargai ilmu itu…
Kecewa pasti terjadi bagi orang yang mempunyai ilmu. Mereka rajin dan berharap segera menyampaikan, tapi beribu=ribu kali mereka terkecewakan karena sikap kita. Sikap yang seolah kita tidak perlu, tidak membutuhkan.
Wahai Murabbi,,,
Aku tahu air matamu, ketika engkau berangkat dari rumah dengan perasaan senang, gembira, dan harapan besar kepada bina-binaanmu itu…
Tidak pernah terpikirkan berapa uang yang terkeluarkan, berapa keringat yang terkucur, berapa banyak siang dan malam memikirnya, berapa banyak dan berpak banyak semuanya…
Tapi engkau melihat, betapa mereka tidak seperti perasaan kita, datang dengan wajah terpaksa, datang telat tanpa rasa bersalah, dan yang paling tidak mengenakan adalah ada salah seorang yang tidak belajar, kemudian melewati didepan kita, jangankan meminta izin, menoleh sedikitpun tidak pernah…
Berapa banyak murobbi tersakiti oleh kita???
Siapakah yang sebenarnya membutuhkan ilmu itu???
Jika murabbi mau, beliau tidak akan mungkin mengingatkan kepada kalian tentang jadwal belajar,,,
Beliaupun tidak akan menanyakan kapan hari mereka belajar,,,jika beliaupun egois dank eras kepala, niscaya bagi orang yang belajar itu dikenakan terif dan pergi ketempat beliau…
Tapi lihatlah….
Adakah murobbi yang seperti itu???
Beliau selalu mengingatkan, menanyakan, dan pergi ketempat kalian. Walau sebenarnya ilmu itu tidak mendekati, tapi didekati.
Perasaan murobbi itu dimanipulasi bahwa Allahlah yang akan membalas segala perbuataanya, pahala baik perasaan hanya mereka harapkan dari Allah SWT.
Saudaraku….
Belajarlah menjadi binaan yang terbaik, terdepan, termulia. Muliakanlah murabbi kita, bukan memuliakan beliaunya tapi ilmunya. Karena Allah selalu memberikan ilmu itu kepada orang yang memuliakan pemberi ilmu itu. Belajarlah seperti Ibnu Abbas yang selalu memegang tali kekang hewan Zaid bin Tsabit. Padahal Ibnu Abbas adalah paman Nabi yang tertua, terhormat, bahkan Rasulullah pernah berkata,”Siapa yang mencintai pamanku, niscaya aku mencintainya. Tp barang siapa yang membenci pamanku, pastilah aku membencinya!”.
Derajat seseorang ditentukan oleh keilmuanya. Ibnu abbas tak segan dan malu untuk memegang tali hewannya itu, karena beliau tahu dengan sangat seperti apa seharusnya yang dia lakukan…
“Beginilah yang kami lakukan terhadap orang-orang yang berilmu!”….
Ah,,,perkataan itu yang jarang sekali terdapatkan….
Aku, kamu dan kita pun ingin merasakan kondisi seperti itu…
Tidak dapat dibanyangkan apa yang terjadi jika orang-orang seperti Ibnu Abbas hadir di jaman ini.
Beginilah seharusnya kita memuliakan ilmu itu…
Beginilah seharusnya sikap pencari ilmu itu…
Beginilah Rasulullah mengajarkan tentang memuliakan ilmu itu…

Ya Rabb, maafkanlah kami selama ini…
 

Murabbi

Seperti inilah seharusnya….

Ibnu abbas pernah memegang tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit.
“Beginilah yang kami lakukan terhadap orang-orang yang berilmu.” (minhajul Qashidin).

Terkadang sedih itu selalu menurunkan energiku, membuat aku lemah semangat, menguras daya pikirku. Betapa keherananku sanggup membuat pandangan yang berbeda dan bahkan sempat menilai dari ukuran bagaimana kita bersikap. Entah apa yang mencokol dipikiran kita, sejauh mana pemahaman kita terhadap ilmu itu, tentang perjuangan, tentang keutamaan, dan tentang efek yang ditimbulkan.
Entah bagaimana bersikap, karena mungkin saja ternyata jalan baginya terasa mudah dan harganya terjangkau atau bahkan gratis, ternyata malah membuat kita merasa surut dalam pencapaiannya.proses sangat mudah itu ternyata tidak membuat kita semakin giat belajar…kita malas tak bertepi.
Seperti apakah kita menyikapi ilmu itu???
Kita yang membutuhkan atau guru yang membutuhkan? Kenapa kita tidak menghargai ilmu itu…
Kecewa pasti terjadi bagi orang yang mempunyai ilmu. Mereka rajin dan berharap segera menyampaikan, tapi beribu=ribu kali mereka terkecewakan karena sikap kita. Sikap yang seolah kita tidak perlu, tidak membutuhkan.
Wahai Murabbi,,,
Aku tahu air matamu, ketika engkau berangkat dari rumah dengan perasaan senang, gembira, dan harapan besar kepada bina-binaanmu itu…
Tidak pernah terpikirkan berapa uang yang terkeluarkan, berapa keringat yang terkucur, berapa banyak siang dan malam memikirnya, berapa banyak dan berpak banyak semuanya…
Tapi engkau melihat, betapa mereka tidak seperti perasaan kita, datang dengan wajah terpaksa, datang telat tanpa rasa bersalah, dan yang paling tidak mengenakan adalah ada salah seorang yang tidak belajar, kemudian melewati didepan kita, jangankan meminta izin, menoleh sedikitpun tidak pernah…
Berapa banyak murobbi tersakiti oleh kita???
Siapakah yang sebenarnya membutuhkan ilmu itu???
Jika murabbi mau, beliau tidak akan mungkin mengingatkan kepada kalian tentang jadwal belajar,,,
Beliaupun tidak akan menanyakan kapan hari mereka belajar,,,jika beliaupun egois dank eras kepala, niscaya bagi orang yang belajar itu dikenakan terif dan pergi ketempat beliau…
Tapi lihatlah….
Adakah murobbi yang seperti itu???
Beliau selalu mengingatkan, menanyakan, dan pergi ketempat kalian. Walau sebenarnya ilmu itu tidak mendekati, tapi didekati.
Perasaan murobbi itu dimanipulasi bahwa Allahlah yang akan membalas segala perbuataanya, pahala baik perasaan hanya mereka harapkan dari Allah SWT.
Saudaraku….
Belajarlah menjadi binaan yang terbaik, terdepan, termulia. Muliakanlah murabbi kita, bukan memuliakan beliaunya tapi ilmunya. Karena Allah selalu memberikan ilmu itu kepada orang yang memuliakan pemberi ilmu itu. Belajarlah seperti Ibnu Abbas yang selalu memegang tali kekang hewan Zaid bin Tsabit. Padahal Ibnu Abbas adalah paman Nabi yang tertua, terhormat, bahkan Rasulullah pernah berkata,”Siapa yang mencintai pamanku, niscaya aku mencintainya. Tp barang siapa yang membenci pamanku, pastilah aku membencinya!”.
Derajat seseorang ditentukan oleh keilmuanya. Ibnu abbas tak segan dan malu untuk memegang tali hewannya itu, karena beliau tahu dengan sangat seperti apa seharusnya yang dia lakukan…
“Beginilah yang kami lakukan terhadap orang-orang yang berilmu!”….
Ah,,,perkataan itu yang jarang sekali terdapatkan….
Aku, kamu dan kita pun ingin merasakan kondisi seperti itu…
Tidak dapat dibanyangkan apa yang terjadi jika orang-orang seperti Ibnu Abbas hadir di jaman ini.
Beginilah seharusnya kita memuliakan ilmu itu…
Beginilah seharusnya sikap pencari ilmu itu…
Beginilah Rasulullah mengajarkan tentang memuliakan ilmu itu…

Ya Rabb, maafkanlah kami selama ini…
 

Takut

Perasaan takut itu menjelma menjadi sosok yang selalu mengundang selera keputusasaan, menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang telah dibangun demikian megahnya, dan selalu membuat decak kagum kebejatan moral yang terusung hari-hari itu. Ketakutan itupun membuat jiwa-jiwa manusia itu menunggu dengan ketidak pastian, panca inderapun menyurutkan tekad yang telah ia bina sebagaimana mestinya, dan keganasan kehidupan terjadi dengan ketidakseimbangan hati nurani. Jiwa-jiwa itupun meringkih dengan sangat ketika ketakutan itu mulai menghancurkan bayangan-bayangan sejati, dan akhirnya ia membuat manusia ataupun sebagiannya menjelma menjadi manuasia-manusia mati....
Keberanian yang gagah, semangat patriot begitu men’Shibghah’ jiwa yang dulu lemah, membuat ‘sang’ itu begitu kuat, begitu semangat, begitu luar biasa dalam melangkah, begitu kaki-kaki yang penuh debu itu menempel dengan lekat dengan kuat, begitu ‘darah’ segar membasahi kulitnya. Mereka mempunyai tujuan yang suci, tetapi tujuan suci itu sangat jauh, sangat berat dan penuh ona dan duri. Kesabaran yang tangguh selalu menjadi proses bertahannya dalam pencapaian tujuan itu. Ia terjatuh, kemudian bangkit lagi..jatuh lagi, bangkit lagi. Sebenarnya kejatuhan pertama, ia telah rapuh tapi ada unsur pemaksaan yang luar biasa yang bersedia memberikan kekuatan untuk menegakkan kaki-kaki dan membukakan mata itu...
Membangun bersama ‘sekeping-sekeping hati’ dengan ukhuwah cinta, bergerak dengan kebersamaan membuat raga ini menjadi ringan dalam melangkah. Ketika ada sayatan luka dari diri kita, mereka membangun dan menutupi sayatan itu, ketika air mata ini membutuhkan tangis, mereka mencegahnya, dan sebagianya. Tapi apakah bisa berjuang, sedang’ sekeping-sekeping hati ‘ itu mulai luntur? Apakah kita masih bisa berjuang ketika tidak ada yang menutup sayatan itu, tidak ada yang menghentikan laju gerak air mata itu? Keraguan akan pertanyaan itu selalu begitu muncul ketika ‘sekeping-sekeping hati’ itu tumbang dan akhirnya perasaan itu terbingkai dengan urutan menjadi ketakutan.
Lalu perasaan itu mulai terus hinggap. Terusir lalu hinggap lagi. Hinggap...terusir lagi. Mereka hinggap dengan membawa segudang alasan yang benar-benar tidak dapat ditolak kenyataannya. Tidak putus asa, akhirnya jiwa itu melemah dan menyerah dengan kedatangan ‘ketakutan itu’. Hingga akhirnya ketakutan itu menjadi faktor utama yang menyebabkan kelemahan, hilang semangat dan menyurutkan langkah yang selama ini ia bangun. Tetapi kemudian ketakutan itu malah berbalik menyerang dahsyat. Berharap melindungi satu jiwa, ternyata malah mengorbankan jiwa-jiwa yang lain. Melindungi satu orang, tapi mengorbankan orang-orang lain yang jumlahnya lebih banyak, bahkan banyak sekali.
Hari-hari tidak ada gerakan, malah tangisan kesedihan melingkupi awan-awan kenangan itu, kenangan bersama ‘sekeping-sekeping hati’ itu. Hari-hari yang dimenangkan oleh kelemahan, keputusasaan dan tekad yang mulai luntur. Sebenarnya ‘sang’ itu dinantikan, diharapkan, dirindukan, dijagokan, tetapi sekeping-sekeping hati itu malu untuk berkata, mereka malu untuk sekedar menanyakan bahkan mereka pun enggan untuk bertanya, walau mereka sungguh merindukan semuanya itu. Lemah dan butuh kekuatan dan semangat. Akhirnya seorang jiwa datang kepadan ‘sang’ dan mengatakan semaunya tentang keinginan sekeping-sekeping hati lain, perasaan mereka tertuntaskan sudah ia lemparkan kepada sang itu.
....
Pagi itu, suasana yang aneh menyapa, mengagetkan sekeping-sekeping hati lain itu. Kelemahan dan kesedihan mereka kini berubah menjadi kekuatan yang berpadu dalam suasana cinta itu. ‘Sang’ itu datang dengan penuh kekhusuan, berjalan dengan tegap dan fokus. Sungguh ‘sang’ itu berubah, kemudian perkataannya mengharukan,” Dulu karena ketakutan, aku lemah. Karenanya aku sibuk memperhatikan tumbangnya sekeping-sekeping hati yang sangat saya cintai, dan karenanya aku tidak ingin melihat sekeping-sekeping hati yang tersisa ini kembali tumbang. Oleh karena itu, aku tidak bergerak karena ketakutan itu. Tetapi saya sadar ketakutan itu malah mengorbankan yang banyak dengan menjaga yang sedikit. Aku terlalu egois dalam hal ini tanpa melihat kalian mencintaiku. Aku sadar perjalanan ini begitu jauh, keharusan pengorbanan selalu terjadi, bahkan kecintaan terhadap sekeping-sekeping hati itu seharusnya tidak membuat kita tidak bergerak karena kita mempunyai tujuan yang amat mulia, amat besar. Mari kita teruskan perjuangan ini,,,,!!!”
Deraian air mata ‘sang’ atas kesalahanya kali ini membuat sekeping-sejeping hati itu mengundang rasa haru dan isak tangis. Membuat optimisme kembali berkibar dan full power, kemudian Gema takbir mengudara di seluruh area-area perjuangan itu, samapi membuat burung-burung gagak itu ketakutan denga simbol keimanan yang dahsyat itu....

Saudaraku sekeping-sekeping hati...
ketakutan memang perlu, tapi jika ia berdiri sendiri, ia akan menjadi sebab hancurnya peradaban itu. Ketakutan itu seperti membutuhkan pasangan. Harapan,,ya..harapan adalah pasangannya. Harapan dan ketakutan menjadi energi yang luarbiasa. Jika kita belum memahaminya, pahamilah... kelak akan mengetahui betapa hal itu menjadi sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini...!!!


 
Perasaan takut itu menjelma menjadi sosok yang selalu mengundang selera keputusasaan, menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang telah dibangun demikian megahnya, dan selalu membuat decak kagum kebejatan moral yang terusung hari-hari itu. Ketakutan itupun membuat jiwa-jiwa manusia itu menunggu dengan ketidak pastian, panca inderapun menyurutkan tekad yang telah ia bina sebagaimana mestinya, dan keganasan kehidupan terjadi dengan ketidakseimbangan hati nurani. Jiwa-jiwa itupun meringkih dengan sangat ketika ketakutan itu mulai menghancurkan bayangan-bayangan sejati, dan akhirnya ia membuat manusia ataupun sebagiannya menjelma menjadi manuasia-manusia mati....
Keberanian yang gagah, semangat patriot begitu men’Shibghah’ jiwa yang dulu lemah, membuat ‘sang’ itu begitu kuat, begitu semangat, begitu luar biasa dalam melangkah, begitu kaki-kaki yang penuh debu itu menempel dengan lekat dengan kuat, begitu ‘darah’ segar membasahi kulitnya. Mereka mempunyai tujuan yang suci, tetapi tujuan suci itu sangat jauh, sangat berat dan penuh ona dan duri. Kesabaran yang tangguh selalu menjadi proses bertahannya dalam pencapaian tujuan itu. Ia terjatuh, kemudian bangkit lagi..jatuh lagi, bangkit lagi. Sebenarnya kejatuhan pertama, ia telah rapuh tapi ada unsur pemaksaan yang luar biasa yang bersedia memberikan kekuatan untuk menegakkan kaki-kaki dan membukakan mata itu...
Membangun bersama ‘sekeping-sekeping hati’ dengan ukhuwah cinta, bergerak dengan kebersamaan membuat raga ini menjadi ringan dalam melangkah. Ketika ada sayatan luka dari diri kita, mereka membangun dan menutupi sayatan itu, ketika air mata ini membutuhkan tangis, mereka mencegahnya, dan sebagianya. Tapi apakah bisa berjuang, sedang’ sekeping-sekeping hati ‘ itu mulai luntur? Apakah kita masih bisa berjuang ketika tidak ada yang menutup sayatan itu, tidak ada yang menghentikan laju gerak air mata itu? Keraguan akan pertanyaan itu selalu begitu muncul ketika ‘sekeping-sekeping hati’ itu tumbang dan akhirnya perasaan itu terbingkai dengan urutan menjadi ketakutan.
Lalu perasaan itu mulai terus hinggap. Terusir lalu hinggap lagi. Hinggap...terusir lagi. Mereka hinggap dengan membawa segudang alasan yang benar-benar tidak dapat ditolak kenyataannya. Tidak putus asa, akhirnya jiwa itu melemah dan menyerah dengan kedatangan ‘ketakutan itu’. Hingga akhirnya ketakutan itu menjadi faktor utama yang menyebabkan kelemahan, hilang semangat dan menyurutkan langkah yang selama ini ia bangun. Tetapi kemudian ketakutan itu malah berbalik menyerang dahsyat. Berharap melindungi satu jiwa, ternyata malah mengorbankan jiwa-jiwa yang lain. Melindungi satu orang, tapi mengorbankan orang-orang lain yang jumlahnya lebih banyak, bahkan banyak sekali.
Hari-hari tidak ada gerakan, malah tangisan kesedihan melingkupi awan-awan kenangan itu, kenangan bersama ‘sekeping-sekeping hati’ itu. Hari-hari yang dimenangkan oleh kelemahan, keputusasaan dan tekad yang mulai luntur. Sebenarnya ‘sang’ itu dinantikan, diharapkan, dirindukan, dijagokan, tetapi sekeping-sekeping hati itu malu untuk berkata, mereka malu untuk sekedar menanyakan bahkan mereka pun enggan untuk bertanya, walau mereka sungguh merindukan semuanya itu. Lemah dan butuh kekuatan dan semangat. Akhirnya seorang jiwa datang kepadan ‘sang’ dan mengatakan semaunya tentang keinginan sekeping-sekeping hati lain, perasaan mereka tertuntaskan sudah ia lemparkan kepada sang itu.
....
Pagi itu, suasana yang aneh menyapa, mengagetkan sekeping-sekeping hati lain itu. Kelemahan dan kesedihan mereka kini berubah menjadi kekuatan yang berpadu dalam suasana cinta itu. ‘Sang’ itu datang dengan penuh kekhusuan, berjalan dengan tegap dan fokus. Sungguh ‘sang’ itu berubah, kemudian perkataannya mengharukan,” Dulu karena ketakutan, aku lemah. Karenanya aku sibuk memperhatikan tumbangnya sekeping-sekeping hati yang sangat saya cintai, dan karenanya aku tidak ingin melihat sekeping-sekeping hati yang tersisa ini kembali tumbang. Oleh karena itu, aku tidak bergerak karena ketakutan itu. Tetapi saya sadar ketakutan itu malah mengorbankan yang banyak dengan menjaga yang sedikit. Aku terlalu egois dalam hal ini tanpa melihat kalian mencintaiku. Aku sadar perjalanan ini begitu jauh, keharusan pengorbanan selalu terjadi, bahkan kecintaan terhadap sekeping-sekeping hati itu seharusnya tidak membuat kita tidak bergerak karena kita mempunyai tujuan yang amat mulia, amat besar. Mari kita teruskan perjuangan ini,,,,!!!”
Deraian air mata ‘sang’ atas kesalahanya kali ini membuat sekeping-sejeping hati itu mengundang rasa haru dan isak tangis. Membuat optimisme kembali berkibar dan full power, kemudian Gema takbir mengudara di seluruh area-area perjuangan itu, samapi membuat burung-burung gagak itu ketakutan denga simbol keimanan yang dahsyat itu....

Saudaraku sekeping-sekeping hati...
ketakutan memang perlu, tapi jika ia berdiri sendiri, ia akan menjadi sebab hancurnya peradaban itu. Ketakutan itu seperti membutuhkan pasangan. Harapan,,ya..harapan adalah pasangannya. Harapan dan ketakutan menjadi energi yang luarbiasa. Jika kita belum memahaminya, pahamilah... kelak akan mengetahui betapa hal itu menjadi sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini...!!!


 

JUJUR

Jujur adalah simbol kebenaran. Ia adalah sesuatu yang terlahir dari keimanan kepada Allah dan rasul-Nya. Ia adalah sesuatu yang membuat nyata kehidupan yang tercipta dari kemanusiaan seorang hamba. Ia adalah unsur bagi kekuatan jiwa, sangat agung bahkan menjadi sesuatu yang paling dibanggakan oleh sesuatu yang membutuhkan Izzah ataupun kemuliaan. Izzah itu tidak akan pernah tercipta (selamanya) tanpa ada instrument kejujuran. Jujur adalah perjalanan yang sangat rumit, penuh dengan dorongan yang panjang dan penuh onak dan duri. Ia menuntut bergerak dengan lambat dan tenang. Ketenangan dalam menghadapi sesuatu yang membutuhkan sesuatu yang tercepat, sederhana dan tidak banyak membutuhkan “penyerangan” ketika ia muncul.

Suatu hari, seorang badui (yang biasanya berkarakter Kasar dan tidak sopan) datang menghadap kepada Rasulullah SAW. Datang dengan sangat aneh, jauh dari pola karakter biasanya. Ya, ia datang dengan seberkas sinar yang berpotensi, datang dengan penuh kelembutan, dengan penuh “rasa penyesalan”…
“Wahai Muhammad, saya ingin masuk islam tetapi saking terbiasa, saya susah sekali untuk meninggalkan “kemaksiatan” yang sering saya lakukan. Bagaimanakah pendapatmu???’
“Mudah saja, engkau harus jujur terhadap semuanya!!!” Rasulullah memberikan solusi.

Orang badui itu bergembira bukan main, ia mendapatkan dua kesenangan yang ia minta. Surga yang dijanjikan dan kemaksiatan yang nikmat. Hanya jujur kata Rasulullah dari itu mudah sekali!!”
Namun perjalanannya adalah sebanding lurus dengan kehidupan hari-hari sekarang. Ketika ia akan melakukan suatu kemaksiatan, ia malah teringat pesan Rasul,”jujurlah!!!”. Rasa itu kemudian menimbulkan pertanyaan,”kalau saya berbuat (maksiat) ini kemudian bertemu dengan Rasulullah dan bertanya, lalu apa yang saya jawab??? Badui itu berpikir, jika berbohong, berarti melanggar janji, tapi jika jujur berarti rasa malu merayap di dalam hatinya. Akhirnya dia tidak melakukan kemaksiatan itu.
Perjalanan yang sangat agung, sedikit demi sedikit “kemaksiatan- kemaksiatan” itu hilang dari dirinya bersama dengan pertanyaan yang sama ketika muncul keinginan nafsunya,”bagaimana nanti jika Rasulullah bertanya??” dan cahaya hidayah dari seorang badui itu membesar dan akhirnya menjadi benar-benar muslim sejati.

Saudaraku…
Hanya jujur solusinya. Tapi kita tidak berbicara dengan “kata-kata” saja, tapi pemahaman seseorang dengan “kata-kata” itu. Karena kejujuran itu bukan soal bisa atau tidak bisa, tapi dalam soal mau atau tidak mau!!!
Karena “bisa” itu pengertiannya adalah soal kemampuan/keahlian yang dimiliki atau pengetahuan yang dimilki juga. Kecenderungannya hanya sebatas apa yang nampak saja. Sedangkan “Mau” adalah lebih kepada hasrat dan tekad, kehendak yang ingin dicapai, dan menjawab harapan yang hakikiberani mengenyampingkan nikmat sesaat untuk sesuatu yang “agung’. Dan perjuangan “Mau” ini lebih besar dari perjuangan “bisa”.

Kisah seorang badui tadi mencerminkan “kemauan”, bukan masalah bisa atau tidak. Karena manusia ini dipenuhi oleh bisa atau tidak bisa, tapi sedikit sekali orang yang hidup dari “Mau” itu. Lihatlah fenomena sekarang, banyak orang yang paham, ahli dibidangnya tapi mereka tidak mau. Tidak mau untuk menyebarkan “bisa”nya, hanya sebatas kenikmatan sendiri, atau boleh jadi merekapun tidak merasakannya. Cendrung untuk mengunakan “Bisa’nya untuk menipu orang, korupsi, dan hal-hal yang merusak umat. Merekapun sebenarnya tahu kekotorang itu, tapi syetan bermain disini, dibuatlah sesuatu itu sebagai angan-angan, memberikan janji, dsb.

Saudaraku…
Sekali lagi saya katakan, kejujuran itu bukan soal bisa tau tidak, tapi mau atau tidak mau! Apakah belum datang kisah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang apakah seorang muslim itu ada yang mencuri, menyakiti dan sifat-sifat yang lainnya. Beliau terseyum dan membenarkan hal itu. Tetapi ketika sahabat itu berkata tentang muslim adakah yang berbohong, Beliau menjawab,” seorang muslim tidak berbohong!!!:” begitulah, muslim tidak berbohong,,,jawaban yang tegas dan penuh makna. Karena kejujuran itu salah satu pondasi yang sangat penting. Ulama-ulama salaf maupun dari khalaf pun banyak di kitab-kitabnya tentang pentngnya kejujuran.

Lalu, apakah kita memahami itu semua??? Apakah kita yang merasa “muslim” jauh dari ketidak jujuran??? Apakah kita tahu tentang urgensinya atau kita tidak mengetahuinya???. Dan jawaban semuanya itu mengerucut kedalam pertanyaan asal, Bukan masalah bisa atau tidaknya, tapi MAU atau TIDAK MAU ya….!!!

Saudaraku…
Mari belajar tentang kejujuran. Kejujuran hati. Kejujuran perilaku/sifat dan kejujuran sikap/perbuatan. Percayalah, dengan itu kita menemukan kekuatan baru, bukan kekuatan semu. Kekuatan yan kuat dan lama, kekuatan yang membentuk keimanan yang dahsyat sehingga kita dicintai oleh Allah. Tapi sebelum semuanya dimulai,,,,

Sudahkah kita jujur kepada Allah???
Sudahkan kita jujur dengan ibadah kita kepada-Nya???
Sudahkan kita jujur dengan kelemahan kita, ketidak punya kekuatan kita kepada-Nya???
Sudahkan kita jujur dengan bantuan-Nya???
Sudahkah kita jujur berterimakasih kepada-Nya???

Dengan itu, air mata kejujuran itu menjadi penentu yang bersejarah, air mata kecemerlangan , dan air mata kejujuran itu membuat Allah, Rasul, dan orang-orang beriman senang terhadapnya. Dengan kejujuran itu, Allah akan merubah kita sebagimana Dia kehendaki. Saya yakin terhadap itu dan kitapun harus yakin.

Saudaraku…
So, mari belajar kejujuran. MAUKAH kita???

 

Sepuluh Langkah menyambut Ramadhan

1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani)

Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadan; dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai.

2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita. Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah sebagai bentuk syukur.

3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).

Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.

4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]

6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.

7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]

8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.

9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan:

· buat catatan kecil untuk kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur.

· membagikan buku saku atau selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa.

10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger