Nyamuk, hewan kecil itu memang nakal karena selalu mengganggu manusia yang terlelap tidur di malam hari. Namun adakah yang pernah berpikir bahwa ternyata seekor makhluk kecil yang seringkali merepotkan manusia itu merupakan suatu contoh akan kesempurnaan desain dalam penciptaan?

Sejak ia bertelur, nyamuk sudah menunjukkan kehebatannya. Dia dengan sendirinya bertelur dalam jumlah ratusan butir yang kesemuanya menyatu hingga menyerupai bentuk sampan. Sampan, karena memang telur tersebut diletakkan di atas permukaan air dan harus dapat mengapung. Seandainya ia bertelur satu persatu, tentunya telur itu akan tenggelam oleh riak air yang kecil sekalipun.

Tentu kita semua tahu, sang nyamuk mengawali kehidupannya dengan hidup di bawah permukaan air. Untuk bernapas ia menggunakan alat menyerupai pipa “snorkel” (biasa digunakan penyelam) yang berada di ujung tubuhnya. Dengan demikian ia dapat menghirup udara di atas permukaan air dan terus melangsungkan siklus hidupnya. Namun tantangan yang dihadapi belum berhenti. Untuk keluar dari air lalu terbang, juga memerlukan usaha yang tidak mudah, karena bila saja tubuhnya basah, maka ia tidak akan dapat terbang! Bayangkan, ternyata di ujung kakinya terdapat suatu senyawa kimia yang mampu meningkatkan tegangan permukaan air. Sehingga ketika keluar dari kepompongnya dan berdiri di atas permukaan air dengan kaki-kakinya, ia tidak terperosok dan tidak tenggelam.

Tidak sampai di situ. Agar nyamuk betina dapat menghisap darah, ia harus mampu mengenali lokasi pembuluh darah manusia di kegelapan malam. Untuk ini ia telah dilengkapi dengan sistem pengindraan inframerah yang mampu menemukan lokasi pembuluh darah berdasarkan suhu tubuh.


BAGAIMANA NYAMUK MENGINDRA DUNIA LUAR?
Nyamuk dilengkapi alat pengindra panas teramat peka. Nyamuk mampu mengindra benda-benda di sekelilingnya dalam berbagai warna yang ditentukan oleh panas yang dipancarkan benda-benda, sebagaimana tampak pada gambar. Karena penglihatannya tidak bergantung pada adanya cahaya, nyamuk sangat mudah menemukan pembuluh darah di kegelapan. Alat pengindra panasnya cukup peka untuk mengenali perbedaan panas sekecil seperseribu derajat Celcius. Sebagai pembanding, gambar di kiri bawah adalah penglihatan manusia.
Untuk bisa menembus kulit manusia sehingga mudah dalam menyedot darahnya, ia juga memiliki organ khusus yang disiapkan oleh Penciptanya. Organ itu berfungsi layaknya gergaji yang menggergaji kulit kita sehingga sobek. Sebab kulit manusia bagaikan kulit kayu yang tebal dan keras bagi nyamuk, hewan berukuran teramat kecil dibanding tubuh manusia. Juga, agar darah yang keluar tidak membeku, maka nyamuk juga telah menggunakan suatu enzim yang mencegah pembekuan darah.

Perhatikan, walau si kecil nyamuk tampak demikian jenius, namun ia tetaplah seekor nyamuk yang tak dapat berpikir untuk memperbaiki kualitas hidup. Ia tetaplah bukan profesor kimia maupun fisika atau bahkan dokter spesialis tranfusi darah sebelum ia dapat melakukan “tugasnya” keluar dari air untuk terbang dan menghisap darah manusia. Ia tetaplah seekor makhluk kecil yang diciptakan oleh Dzat Yang Maha Pencipta sebagai perumpamaan bagi kita agar mau berpikir.

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orangorang yang fasik (QS. Al Baqarah, 2:26)

 

Bekerja, maka keajaiban akan datang

Iman itu terkadang menggelisahkan. Atau setidaknya menghajatkan ketenangan yang mengguyuri hati dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrahim ketika dia meminta kepada Rabbnya untuk ditunjukkan bagaimana yang mati dihidupkan. Maka saat Rabbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?”, dia menjawab sepenuh hati, “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tenteram.” Tetapi keajaiban itu tak datang serta merta di hadapannya. Meski Allah bisa saja menunjukkan kuasaNya dalam satu kata “Kun!”, kita tahu, bukan itu yang terjadi. Ibrahim harus bersipayah untuk menangkap lalu mencincang empat ekor burung. Lalu disusurnya jajaran bukit-berbukit dengan lembah curam untuk meletakkan masing-masing cincangan. Baru dia bisa memanggilnya. Dan beburung itu mendatanginya segera. Di sinilah rupanya keajaiban itu. Setelah kerja yang menguras tenaga. Tetapi apakah selalu kerja-kerja kita yang akan ditaburi keajaiban? Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh Ibrahim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohon tempat bernaung. Tak terlihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah. Keculai bayi itu. Isma’il. Dia kini mulai menangis begitu keras karena lapar dan kehausan. Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putera semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak-balik tujuh kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Allah, Dia takan pernah menyia-nyiakan kami!” Maka kejaiban itu memancar. Zam zam! Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang menangis. Yang haus. Yang menjejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita. Mari belajar pada Hajar bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Allah. Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahwa Dia tak pernah menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan yang tak kita sangka atas kehendakNya yang Maha Kuasa. Dan biarkan keajaiban itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki. Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Di lintas sejarah berikutnya, datanglah seorang lelaki pengemban da’wah untuk menjadi ‘ibrah. Dari Makkah, dia berhijrah ke Madinah. Tak sesuatupun dia bawa dari kekayaan melimpah yang pernah memudahkannya. Dia, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. Dan Rasulullah yang tahu gaya hidupnya di Makkah mempersaudarakannya dengan seorang lelaki Anshar kaya raya. Sa’d ibn Ar Rabi’. Kita hafal kemuliaan kedua orang ini. Yang satu menawarkan membagi rata segala miliknya yang memang berjumlah dua; rumah, kebun kurma, dan bahkan isterinya. Yang satu dengan bersahaja berkata, “Tidak saudaraku.. Tunjukkan saja jalan ke pasar!” Dan kita tahu, dimulai dari semangat menjaga ‘izzah, tekadnya untuk mandiri, serta tugas suci menerjemahkan nilai Qurani di pasar Madinah, terbitlah keajaiban itu. ‘Abdurrahman ibn ‘Auf memang datang ke pasar dengan tangan kosong, tapi dadanya penuh iman, dan akalnya dipenuhi manhaj ekonomi Qurani. Dinar dan dirham yang beredar di depan matanya dia pikat dengan kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari riba, timbangan yang pas, keadilan transaksi, transparansi, dan akad-akad yang tercatat rapi. Sebulan kemudian dia telah menghadap Sang Nabi dengan baju baru, mewangi oleh tebaran minyak khaluq yang membercak-bercak. “Ya Rasulallah, aku telah menikah!”, katanya dengan sesungging senyum. Ya, seorang wanita Anshar kini mendampinginya. Maharnya emas seberat biji kurma. Walimahnya dengan menyembelih domba. Satu hari, ketika 40.000 dinar emas dia letakkan di hadapan Sang Nabi, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kau infaqkan juga yang kau simpan!” Kita mengenangnya kini sebagai lelaki yang memasuki surga sambil merangkak. Di mana titik mula keajaiban itu? Mungkin justru pada keberaniannya untuk menanggalkan segala kemudahan yang ditawarkan. Dalam pikiran kita, memulai usaha dengan seorang isteri, sebuah rumah tinggal, dan sepetak kebun kurma seharusnya lebih menjanjikan daripada pergi ke pasar dengan tangan kosong. Tetapi bagi ‘Abdurrahman ibn ‘Auf agaknya itu justru terlihat sebagai belenggu. Itu sebuah beban yang memberati langkahnya untuk menggapai kemuliaan yang lebih tinggi. Keajaiban itu datang dalam keterbatasan ikhtiyar keras si tangan kosong. Bukan pada kelimpahan yang ditawarkan saudaranya. Memulai dengan tangan kosong seperti ‘Abdurrahman ibn ‘Auf seharusnya menjadi penyemangat kita bahwa itu semua mudah. Mungkin dan bisa. Tetapi apakah kemudahan itu? Suatu hari dalam perjamuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, semua orang mencibir perjalanan Columbus menemukan dunia baru sebagai hal yang sebenarnya sangat mudah. Tinggal berlayar terus ke barat. Lalu ketemu. Christopher Columbus tersenyum dari kursinya. Diambil dan ditimangnya sebutir telur rebus dari piring di depannya. “Tuan-tuan”, suaranya menggelegar memecah ricuh bebisikan. “Siapa di antara kalian yang mampu memberdirikan telur ini dengan tegak?” “Christopher”, kata seorang tua di sana, “Itu adalah hal yang tidak mungkin!” Semua mengangguk mengiyakan. “Saya bisa”, kata Columbus. Dia menyeringai sejenak lalu memukulkan salah satu ujung telurnya sampai remuk. Lalu memberdirikannya. “Oh.. Kalau begitu, kami juga bisa!”, kata seseorang. “Ya.. ya.. ya..”, seru yang lain. Dan senyum Columbus makin lebar. Katanya, “Itulah bedanya aku dan kalian Tuan-tuan! Aku memang hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya di saat semua orang mengatakan bahwa hal mudah itu mustahil!” Nah, para pengemban da’wah, bekerjalah. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Mulailah. Karena dalam keberanian memulai itulah terletak kemudahannya. Bukan soal punya dan tak punya. Mampu atau tak mampu. Miskin atau kaya. Kita bekerja, karena bekerja adalah bentuk kesyukuran yang terindah. Seperti firmanNya; “..Bekerjalah hai keluarga Daud, untuk bersyukur. Dan sedikit sekali di antara hambaKu yang pandai bersyukur.” (Saba’ 13) salim a. fillah -www.fillah.co.cc-
 

Enam Pesan Ahli Surga

Betapa indahnya ketika berbicara tentang surga. Dan tahukan engkau apa itu surga? Surga adalah rumah tinggal yang abadi yang menjadi tujuan setiap hamba Allah yang shalih. Surga adalah pusat aspirasi semua hamba Allah. Surga adalah di atas apa yang kita lihat, di atas apa yang kita dengar dan di atas apa yang muncul dalam pikiran manusia, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 107-108: Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, (*) Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS Al-Kahfi: 107-108). Rasulallah SAW bersabda, sebagaimana disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits riwayat Abu Hurairah, (Allah berfirman, Aku telah mempersiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih surga yang (kenikmatannya) belum pernah ada mata yang telah melihat, dan tidak pernah ada telinga yang telah mendengar maupun telah terdetik di hati manusia). Dengan kasih Allah dan rahmat-Nya kepada kita, Dia telah membentangkan gambaran surga yang nikmat itu, dengan menekankan keabadian dan kesempurnaan, tanpa kekurangan sedikitpun, tidak panas atau dingin, tidak lelah dan tidak sibuk dengan hiruk pikuk, tak ada kerugian, tidak ada yang dicurangi. Sekali teguk kenikmatan di surga melupakan semua penderitaan dalam hidup ini. Timbul pertanyaan, mengapa semua ini diceritakan wahai hamba-hamba Allah? Hal ini semata untuk mengajak orang-orang beriman ke surga dengan penuh semangat. Agar mereka bergegas menuju berbagai kebahagiaan, taman dan segala istananya. Sebab surga adalah tempat tinggal yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, dipersiapkan sebagai rumah untuk orang-orang yang dicintai-Nya agar mengisinya dengan rahmat, kemuliaan dan ridha-Nya. Dia menggambarkan kenikmatannya sebagai kemenangan besar, pemiliknya sebagai raja diraja, segala kebaikan dan kemurniannya dijaga dari setiap cacat dan kekurangan. Celakalah jiwa-jiwa yang tidak menginginkan hal itu, tidak ingin melihatnya, dan tidak berusaha untuk masuk ke dalamnya! Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan hadits-hadits Nabi SAW yang terkait langsung dengan mereka yang dijanjikan surga, seraya berdoa kepada Allah agar kita dimasukkan surga bersama keluarga dan kerabat kita semua. Tak ada surga kecuali dengan berusaha menggapainya. Pesan Pertama: Kisah Abu Bakr dan amalan-amalan baiknya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah SAW berkata, Siapa di antara kamu yang berpuasa hari ini? Abu Bakar menjawab: “Aku”. Dia bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang telah mengikuti pemakaman hari ini?” Abu Bakar berkata: “Aku”. Dia berkata lagi, “Siapa di antara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini? Abu Bakar berkata, “Aku”. Dia bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Aku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Jika terkumpul seluruh amalan seperti di pria ini, niscaya ia akan masuk surga”. Diriwayatkan dari Abd al-Rahman bin Abi Bakr, dia berkata, “Rasulullah SAW shalat subuh, kemudian bertemu dengan para sahabatnya”. Dia berkata: “Apakah ada di antara kalian yang hari ini berpuasa? Umar bin al-Khattab menjawab, “Ya Rasulallah, aku tidak berniat puasa, maka pagi ini aku berbuka (sarapan).” Abu Bakar berkata, “Kalau aku, sejak semalam sudah berkata pada diriku sendiri untuk puasa, maka aku puasa.” Rasulullah SAW kemudian bertanya lagi, “Apakah ada di antara kalian hari ini yang menjenguk orang sakit? Umar berkata, “Ya Rasulallah, kami shalat dan berdoa denganmu, bagaimana kami dapat menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakar berkata: “Aku mendengar bahwa adikku, Abdul Rahman bin Auf, merintih maka aku mencari cara untuk bisa mengunjunginya ketika aku datang ke masjid, Rasulullah SAW bertanya lagi, “Sudahkan ada di antara kalian yang bersedekah hari ini? Umar berkata, “Ya Rasulallah, kami kan shalat dan berdoa bersamamu dan tidak sempat istirahat.” Abu Bakar berkata: “Ketika aku masuk masjid di tengah jalan kujumpai pengemis, di tanganku ada segenggam roti yang kudapat dari Abdurrahman, aku berikan kepadanya”. Rasulallah SAW kemudian bersabda, “Aku beri kabar gembira untukmu (Abu Bakar, termasuk ahli) surga.” Umar menggumam, “oh…oh… oh… ahli surga.” Pesan Kedua: Utsman radhiallahu anhu dan Infaq. Diriwayatkan dari Tsamama bin Hazn al-Qusyairi, radhiallahu anhu, dia berkata: Aku menyaksikan Peristiwa Dar (yaum al-dar), ketika mereka, penduduk Madinah, memuliakan Ustman untuk bercerita amal-amal baiknya di hari itu. Ustman berkata: “Tahukah kalian bahwa ketika Rasulallah sampai ke kota Madinah, dan tak ada cadangan air (di kota itu) kecuali sumur milik Raumah. Rasulallah SAW bersabda, “Barangsiapa yang membelinya dan menjadikan embernya dan ember kaum muslimin masuk ke sumur itu, niscaya baginya surga? Aku membelinya dari harta tabunganku. Hingga hari ini, aku larang diriku sendiri untuk meminum air dari sumur itu hingga aku harus minum air laut. Mereka menjawab, “Ya”. Utsman berkata lagi, “Dan dengan memuji Allah dan mengagungkan Islam, tahukah kalian bahwa (suatu hari) masjid itu sudah sempit dengan jamaah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mau membebaskan tanah si fulan, niscaya diberikan kebaikan baginya dari masjid itu hingga ke surga, aku membelinya dari hartaku. Hingga hari ini aku cegah diriku untuk shalat dua rakaat di masjid itu”. Mereka berkata, “Ya”. Ustman berkata lagi, “Dengan memuji Allah dan mengagungkan Islam, Tahukan kalian bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang membekali tentara, niscaya wajib baginya surga. Maka aku berikan perbekalan (pada tentara). Mereka berkata, “Ya Allah, ya benar”. Ustman berkata lagi, “Dengan memuji Allah, Tahukah kalian aku dulu berada di gunung Tsabir di pinggir kota Mekah bersama-sama dengan Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar, maka tiba-tiba gunung terguncang, sehingga batunya berjatuhan ke dasar, Rasulullah SAW menghindar dengan kakinya, dan berkata: “Tenanglah wahai (gunung) Tsabir. Sesungguhnya, di dekatmu ada seorang Nabi, seorang yang jujur dan dua orang yang menjadi syahid. Mereka berkata, “Ya”. Ustman berkata, “Allah Akbar, saksikanlah aku agar kelak masuk surga, wahai tuhan pemilik Ka’bah. Ia berucap tiga kali. Pesan Ketiga: Terjaga dengan ibadah di waktu malam: Salah seorang tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) berkata, saat itu mereka tengah merindukan surga dan para bidadarinya, “Aku akan membeli seorang bidadari dari sekian banyak bidadari surga dengan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam, aku tidak akan tidur sampai aku selesai khatam tersebut.” Dia sudah mengkhatamkan sebanyak dua puluh Sembilan juz, lalu rasa kantuk menyerang hingga ia tertidur. Dalam tidurnya ia mimpi bertemu bidadari, dan sang bidadari berkata berkata, Apakah engkau akan meminang bidadari sepertiku, dan engkau tertidur. Sementara orang yang mencintaiku, aku haramkan tertidur. Karena aku dicipta untuk setiap orang yang banyak melakukan shalat dan rajin bangun malam. Mendengar itu, ia terbangun, dan langsung melanjutkan usahanya, dan ia kemudian berkata: Dengan izin dan rahmat Allah, aku akan berusaha untuk mendapatkan semua ini, untuk mendapatkan salah satu dari bidadari itu. Abu Sulaiman Aldarini – belas kasihan Tuhan – suatu kali tertidur pada suatu malam malam, dia dikenal sebagai ahli ibadah, seorang yang zuhud, dan tulus kepada Allah, dan ketulusan dengan Tuhan, Yaman itu sendiri, termasuk surga yang penuh kenikmatan. Pada suatu malam dia berkata, tidur dan diri kadang-kadang berbicara tentang apa yang Anda inginkan dan apa yang ingin Anda dan termasuk cinta – berkata: Aku melihat – sebagaimana yang sering dilihat oleh orang tengah tidur, suatu kali bidadari datang kepadaku dan berkata: “Inikah perbuatan orang-orang shalih?” “Wahai Abu Sulaiman – Apakah engkau tertidur dan aku telah menunggumu sejak lima ratus tahun”. Tidak ada Tuhan selain Allah; Sejak itu, ia tak lagi tidur kecuali hanya sedikit saja, hal itu dimaksudkan agar ia sungguh-sungguh bertemu dengannya. Pesan Keempat: Bilal bin Rabah, radhiallahu anhu dan wudhu: Bilal adalah bujang yang bekerja pada Abu Bakar, semoga Allah senang dengan dia. Ia termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, karena itu ia dihukum oleh kaumnya dan mereka memaksanya untuk bersaksi “Tuhanku Latta dan Uzza”. Namun, Bilal tetap teguh berkata, “Ahad… ahad…” Datanglah Abu Bakar dan membebaskannya dari perbudakan dengan membelinya seharga tujuh (sebagian mengatakan lima) kantong emas. Rasullah SAW kemudian menyatakannya sebagai manusia merdeka. Maka, sejak itu Bilal menjadi muadzin Nabi, baik saat berdiam di Madinah atau saat berperjalanan. Abu Hurairah RA berkata: Suatu hari Rasulullah SAW beserta Bilal: “ceritakanlah padaku satu pekerjaan yang dilakukan dalam Islam memberikan manfaat, aku mendengar Nabi SAW mengatakan ia sudah mendengar suara sandal Bila di surga. Bilal menjawab, aku tidak mengerjakan apa-apa, kecuali menjaga wudhuku hingga seringkali aku shalat maghrib dengan wudhu shalat dzuhur.” Pesan Kelima: Di mana tokoh seperti Abu Dahdah sekarang? Abu Dahdah, nama lengkapnya adalah Tsabit bin Dahdah al-Anshari, salah satu pelaku sejarah perang Uhud dan menemui kematiannya pada perang tersebut. Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak decak kekaguman untuk Abu Dahdah di surga”. Dan diriwayatkan oleh Imam At-Tabrani dalam kitab Al-Awsat (2/517) dari hadits Umar dengan lafadz, manakala ayat Allah SWT turun, “barangsiapa yang memberikan pinjaman kepada Allah sebaik-baik pinjaman” Abu Dahdah berkata, Ya Rasulallah, apakah kita harus meminjamkan Allah dengan harta kita?”. Rasulallah SAW menjawab, “Ya.” Dia berkata: Sesungguhnya aku punya dua dinding (lantai), satu di atas, satu lagi di bawah.. Aku telah meminjamkannya untuk Allah. Pesan Keenam: Tidak Ghibah: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “bahwasanya ada seseorang bertanya, Ya Rasulallah, si fulan dikenal banyak melakukan shalat dan puasa, hanya saja dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulallah bersabda, “Dia di neraka.” Orang tersebut bertanya lagi, “Sementara ada juga si fulanah dikenal sedikit saja shalat dan puasanya sebab dia sibuk memberi makan sapinya, dan dia tidak mengguncingkan tetangganya”. Rasulallah SAW bersabda, “dia di surga”.
 

ABU MUSA AL-ASY'ARI

YANG PENTING KEIKHLASAN..., KEMUDIAN TERJADILAH APA YANG AKAN TERJADI... !

Tatkala Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya:

"Sesungguhnya Amirul Mu'minin Umar telah mengirimku kepad kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kafian, serta membersihkan jalan hidup kalian... !"

Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya... ! Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya ... !

Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata: -- 'Tak seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang  lebih berjasa kepada penduduknya selain dia ... !"

Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy'ari.  Ia  meninggalkan  negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah·, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.

Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam  tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar....

Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja'far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.

Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.

Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy'ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai  tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: -- "Orang-orang Asy'ari ini  bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata ....
Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka... !"

Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu'minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa zaman.

Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang... ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal ... ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: "Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit ....".

Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan ... ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: -- "Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi... !"

Dalam arena perjuangan al-Sy'ari memikul tanggung jawab  dengan  penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  berkata mengenai dirinya: -- "Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa  " Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut:     "Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain... !"

Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah.

Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy'ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan.

Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang… !

Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan,  mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan .... Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.... !

Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya ... ! Pada saat itu Amirul Mu'minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh 'Ammar bin Yasir, Barra' bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja'.

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat.

Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya ....

Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.

Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.

Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu  memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu'minin.

Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati…Ia membaca al-Quran dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda: -

'Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!"
Dan setiap Umar radhiallahu anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: -
"Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa... !"

Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali Sika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi...Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya.

Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.

Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu'awiyah.

Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya Yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi Orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ....

Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita Simpulkan sebagai berikut: -- memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan... !

Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya nntuk sementara waktu, begitu pula Mu'awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.

Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya ... ! Benar bahwa Ali radhiallahu anhu telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari'at ... ! Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru ,karena pengkhianatan Mu'awiyah sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.

Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah!

Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian ... !

Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy'ari.

Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.

Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali.
Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat.

Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan ... !

Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah .... Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin 'Ash sebagai wakil dari pihak Mu'awiyah. Dan sesungguhnya  'Amr bin 'Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu'awiyah.

Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy'ari dan 'Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.

Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini,'Amr bin 'Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan  Abdullah bin Umar ....

Demikianlah dengan kelicinannya, 'Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu'awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin 'Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.

Kecerdikan 'Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya'Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada 'Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala  urusan  mereka hendaklah  diperundingkan  di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.

Dan akan kita lihat nanti bagaimana 'Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu'awiyah

Tetapi sebelum itu marilah kita dengar soal jawab yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan 'Amr bin 'Ash di awal pertemuan mereka, yang kita nukil dari buku "Al-Akhbaruth Thiwal" buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: -- Abu Musa :

+ Hai  'Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah ...? Ujar 'Amr: -
-- Apakah itu  ?
+ Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
-- Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu'awiyah...?
+ Tak ada tempat Mu'awiyah di sini ..., dan tak ada haknya
--Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya...?
+ Benar!
--Maka Mu'awiyah adalah wail dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wail darah Utsman, sedang Allah Ta'ala berfirman: "Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, make Kami berikan kekuasaan kepada walinya     I" Di samping itu ia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi shallallahu alaihi wasalam  juga salah seorang dari shahabatnya.
+ Takutilah Allah hai 'Amr! Mengenai kemuliaan Mu'awiyah yang kamu katakan itu, seandainya khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu'awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib ...? Adapun katamu bahwa Mu'awiyah wail Utsman, maka lebih utamalah daripadanya putera Utsman sendiri 'Amr bin Utsman... ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyahi itu...!
--Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?
+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putra dari orang baik ,yaitu Abdullah bin Umar ... !
-- Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan ... !
+ Keterlaluan engkau wahai 'Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah ...!
-- Jadi bagaimana pendapat anda ... ?
+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka -- Ali dan Mu'awiyah -- dan kita serahkan kepada permusyawaratan Kaum NIuslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
-- Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia .. !

Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaranyang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy'ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan 'Amr bin 'Ash yang terkenal licin dan lihai itu Maka tatkala 'Amr hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu'awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wall dari  Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: -- Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu'awiyah….!

Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman radhiallahu anhu . sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu'awiyah …!

Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr bin 'Ash seorang diri .... Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan 'Amr telah menyetujui dan mengakui tarikatnya dengan pendapat ini ....

Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, 'Amr masih akan bsrsiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu'awiyah ... ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembalikepada mereka menyampaikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan 'Amr akan bersilat lidah, katanya: -

"Demi Allah, saya khawatir 'Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya…. !"

Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga 'Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa 'Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.

Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu mukalah ..., Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan 'Amr bin 'Ash mewakili pihak Mu'awiyah.

Abu Musa mempersilakan 'Amr untuk bicara, ia menolak, katanya: -
"Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda... ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua    '"

Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya: -

"Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tail kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu'awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah.... Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatan mereka .... Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian ... !'

Sekarang tiba giliran 'Amr untuk memaklumkan penurunan Mu'awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ail, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.'Amr menaiki mimbar, lain katanya: "Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya       Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggaIkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku Mu'awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu'minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini ... !"

Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada 'Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri... , diayunnya langkah menuju Mekah . . , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.

Abu Musa radhiallahu anhu . adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya . · · ·

Sewaktu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi.

Di masa Umar, Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah.

Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:

"Ikutilah al-Quran ... dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran...!"

Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya: -

"Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti ... !"

Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut .... Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman.

Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ....

Kalimat-kalimat itu ialah: -

"Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan':

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger