Hadits ke-8

Dari Ibnu Umar rodhiyallohu’anhuma, sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh), menegakkan sholat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Alloh subhanahu wata’ala.” (HR. Bukhori dan Muslim) Islam dan Perang Allah memerintahkan untuk memerangi non muslim sampai mereka mau bersyahadatain dan iltizam terhadap syari’at Islam. Makna iltizam adalah meyakini bahwa dirinya terkena kewajiban syari’at. Yang sesungguhnya telah termaktub di dalam makna syahadatain. Pelaksanaan perang tersebut setelah sebelumya disampaikan dakwah Islam. Di samping muslim yang sudah iltizam terhadap syari’at, ada juga orang kafir yang tidak boleh diperangi. Muslim yang sudah iltizam namun tidak melaksanakan syari’at, sebagian ulama berpendapat mereka boleh diperangi, terutama jika sekelompok masyarakat muslim sepakat untuk tidak melaksanakan syiar Islam. Macam-macam Orang Kafir Orang kafir terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Kafir harbi, yaitu orang kafir yang memerangi dan diperangi. 2. Kafir Dzimi, yaitu orang kafir yang tunduk pada penguasa islam dan membayar jizyah [upeti] . 3. Kafir Muahad, yaitu orang kafir yang tinggal di Negara kafir, yang ada perjanjian damai dengan Negara islam. 4. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang masuk ke Negara islam,dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah. Dari keempat macam orang kafir tersebut, hanya kafir harbi yang boleh diperangi. Islam Dhohir Hukum ke-Islam-an seorang dilihat dari penampakan lahirnya. Adapun hakikatnya Allah yang lebih tahu. Adakalanya seseorang dari sisi lahirnya adalah Islam namun batinnya kafir. Kekafiran yang ada pada orang muslim ada dua bentuk yaitu, kufur ridah dan kufur nifak. Kufur ridah terjadi pada orang muslim yang menampakkan kekafiran, sedangkan kufur nifak terjadi pada orang muslim yang menyembunyikan kekafiran.
 

Hadits ke-7

Dari Abu Ruqoyyah Tamiim bin Aus Ad-Daari rodhiyallohu’anhu, sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasihat”. Kami (sahabat) bertanya: ”Untuk siapa?” Beliau bersabda: ”Untuk Alloh, kitab-Nya, rosul-Nya, pemimpin-pemimpin umat islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Muslim) Kedudukan Hadits Hadits ini sangat penting, karena mengandung seluruh agama.Yaitu mengandung hak Allah, hak rasul-Nya, dan hak hamba-Nya. Kewajiban penunaian hak-hak tersebut tekandung pada kata nasehat. Lingkup Nasehat Nasehat, pada asalnya berarti bersih dari campuran atau adanya keserasian hubungan.Pada hadits di atas, nasehat untuk umat secara umum dan para imam berarti kehendak baik dari nasih kepada mansuh, sebagaimana pengertian yang sering dipakai untuk mendefiniskan nasehat. Adapun nasehat untuk lainnya, sesuai dengan asal katanya, yaitu adanya keserasian hubungan. Dimana masing-masing memberikan hak pihak lain yang mesti ditunaikan. 1. Nasehat untuk Allah. Adalah menunaikan hak Allah seperti telah tersebut pada pembahasan iman kepada Allah. 2. Nasehat untuk kitab-Nya. Adalah menunaikan hak kitab-Nya Al-Qur’an, seperti, yakin bahwa Al-Qur’an kalamullah, mu’jizat terbesar diantara mu’jizat-mu’jizat yang pernah diberikan kepada para rasul, sebagai petunjuk dan cahaya. Selain itu juga membenarkan beritanya dan melaksanakan hukumnya. 3. Nasehat untuk Rasul-Nya. Adalah menunaikan hak Rasulullah, seperti telah tersebut pada makna syahadat Muhammad rasulullah. 4. Nasehat untuk para imam. Kata imam jika disebutkan secara mutlak maka berarti penguasa, dan adakalanya kata imam berarti ulama. Nasehat untuk para imam, meliputi imam dengan kedua arti tersebut. Nasehat untuk penguasa adalah menunaikan haknya, seperti, taat dalam hal yang ma’ruf, tidak taat dalam kemaksiatan, tunduk dan tidak membangkang dan lain-lain yang merupakan hak penguasa yang telah dijelaskan dalam kitab dan sunah. Nasehat untuk ulama adalah mencintai mereka karena kebaikannya dan jasanya pada umat berkat ilmunya, dan dakwahnya, menjaga kehormatan dan kewibawaannya serta menyebarkan fatwa- fatwanya. 5. Nasehat untuk awam kaum muslimin adalah memberikan semua yang menjadi hak mereka demi terwujudnya maslahat dunia dan akherat mereka Semua hak-hak diatas ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah.
 

Hadits ke-6

An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)[1] Kedudukan Hadits Tentang kedudukan hadits ini sudah disebutkan pada penjelasan hadits pertama. Musytabihat Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya. Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai berikut: 1. Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah. 2. Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah. Dalam kedua keadaan tersebut semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya. Menghindari Mustabihat Identik dengan Menjaga Agama dan Kehormatan Orang mukmin berkewajiban untuk memelihara agama dan kehormatannya. Kewajiban ini bisa terlaksana dengan cara menghindari Mustabihat. Hal itu karena: 1. Dengan menghindari Mustabihat maka secara otomatis dia terhindar dari yang haram dan dengan terhindar dari yang haram terjagalah agamanya. 2. Adakalanya orang yang tidak menghindari Mustabihat akan dianggap orang yang rendah agamanya dan tidak memiliki ketaqwaan, dengan demikian ternodailah kehormatannya. Berbeda jika dia menghindari Mustabihat maka aggapan seperti itu akan jauh darinya, dengan demikian terjagalah kehormatannya. Menerjang Mustabihat Identik dengan Menjerumuskan Diri ke dalam Keharaman Orang mukmin dilarang melakukan sesuatu sehingga dia mengetahui hukumnya, maka seseorang yang menerjang Mustabihat dia akan terjerumus ke dalam yang haram ditinjau dari 2 sisi sebagai berikut : 1. Melanggar larangan, karena telah melakukan sesuatu yang belum jelas hukumnya. 2. Bisa jadi yang dia lakukan hukumnya haram sementara dia tidak menyadarinnya karena belum jelas hukumnya. Sesuatu yang Diperselisihkan Hukumnya Tidak Identik dengan Mustabihat. Banyak masalah yang diperselisihkan status halal dan haramnya oleh para ulama. Tindakan menyelamatkan diri dari perbedaan ulama adalah suatu kemuliaan, namun tidak dalam seluruh masalah. Memilih pendapat yang lebih kuat, sekalipun dinilai haram oleh pihak yang lain, tidaklah termasuk menerjang Mustabihat apalagi menerjang keharaman. Hati, Otak Dan Akal Hati adalah tempat bersemayamnya akal dan rumah ruh. Akal adalah alat untuk memahami dan mangetahui baik-buruk dan benar-salah. Sedangkan otak adalah penyampai data kepada akal. Dengan demikian, yang bisa memahami dalil-dalil syariát adalah akal. -------------------------------------------------------------------------------- Catatan Kaki: [1] Saya (Sofyan Efendi) mengambil hadits ke-6 ini langsung dari kitab Ringkasan Shahih Bukhari karya Al-Albani, karena saya melihat arti (terjemahan) yang disampaikan kurang tepat. Tulisan aslinya adalah sebagai berikut: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas serta yang haram juga telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (yang masih samar/tidak jelas); yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara syubhat, maka sesungguhnya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus kepada perkara syubhat, pasti akan terjerumus kepada yang haram. Seperti halnya seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, sehingga dikhawatirkan hampir-hampir (menggembala) di dalamnya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai larangan. Ingatlah bahwa larangan Alloh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, ia adalah jantung.” (HR. Bukhori dan Muslim). Padahal kalimat yang tepat bukan menyatakan "pasti", tapi "hampir-hampir" serta segumpal daging tersebut adalah "hati", bukan "jantung". Wallaahu'alam. Saya memohon ampun kepada Allah jika seandainya saya yang salah.
 

Keutamaan 10 hari Bulan Dzulhijah

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullah,dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu: sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?”. Beliau menjawab, “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apa pun." Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid." Macam-macam Amalan yang Disyari’atkan 1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah. Amal ini adalah yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain; sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga." 2. Berpuasa selama hari-hari tersebut, atau pada sebagiannya terutama pada hari Arafah. Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadits qudsi, artinya: Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku." Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun." [Hadits Muttafaq 'Alaih]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Berpuasa pada hari Arafah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya." 3. Takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, "... dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan..." [Surah Al-Hajj : 28]. Para ahli tafsirmenafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzul-hijjah. Karena itu, para ulama meng-anjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid." [HR. Ahmad]. Imam Al-Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orang pun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq radhiyallahu ‘anhu, meriwayatkan dari fuqaha' tabi'in bahwa pada hari-hari ini mengucapkan: "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah." Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala "Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu..." [Al-Baqarah: 185]. Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga harus belajar dengan mengikuti orang lain. Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti: takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan. 4. Taubat serta meninggalkan segala maksiat dan dosa, sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya." [Hadits Muttafaq 'Alaih]. 5. Banyak beramal shalih, berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma’ruf-nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, bahkan sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihadnya orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya. 6. Disyariatkan pada hari-hari itu takbir muthlaq, yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlang-sung hingga shalat Ashar pada akhir hari Tasyriq. 7. Berkurban pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq. Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ’alaihi salam yakni ketika Allah menebus putranya dengan sembelihan yang agung. 9. Melaksanakan shalat Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyian, judi, mabuk dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapus-nya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari. 10. Mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya. Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin) QURBAN Qurban adalah penyembelihan hewan ternak yang dilaksanakan atas perintah Allah pada hari-hari raya Idul Adha. Definisi Dalam bahasa Arab, Udhhiyyah. Idhhiyyah, Dhahiyyah, Dhihiyyah, Adhhat, Idhhat dan Dhahiyyah, berarti hewan yang disembelih dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah pada hari Idul Adha sampai akhir hari-hari tasyriq, kata-kata tersebut diambil dari kata dhahwah. Disebut demikian karena awal waktu pelaksanaan yaitu dhuha (Lisanul Arab 19:211, Mu’jam Al-Wasith 1:537) . Hukum berqurban Allah subhanahu wata’la mensyariatkan berqurban dalam firman-Nya, “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (QS.108: 2), “Dan kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah.” (QS 22: 36). Hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu. [Hadits Muttafaq 'Alaih] Adapun orang yang menghukumi wajib dengan dasar hadits, “Siapa yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjidku.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hadits ini derajatnya dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada perawinya yang dha’if yaitu Abdullah bin Iyasy sebagaimana diterangkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Hazm (Ibnu Majah 2: 1044, Al-Muhalla 8:7). Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Andaikata berkurban itu wajib, maka tidaklah cukup bagi satu rumah kecuali setiap orang mengurbankan seekor kambing atau setiap tujuh orang mengorbankan seekor sapi, akan tetapi karena hukumnya tidak wajib maka cukuplah bagi seorang yang mau berkurban untuk menyebutkan nama keluarga pada kurbannya. Dan jika tidak menyebutkannya tidak berarti meninggalkan kewajiban.” (Al-Umm 2: 189). Para sahabat kami berkata, “Andaikan kurban itu wajib maka (kewajiban itu) tidak gugur meskipun waktunya telah lewat, kecuali dengan diganti (ditebus) seperti shalat berjamaah dan kewajiban lainnya. Para ulama madzhab Hanafi juga sepakat dengan kami (madzhab Syafi’i) bahwa kurban hukumnya tidak wajib.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab: 8: 301) Hewan yang dikurbankan Hewan yang akan dikurbankan hendaklah diperhatikan umurnya, yaitu: Unta 5 tahun, sapi 2 tahun, kambing 1 tahun atau hampir 1 tahun. Ulama madzhab Maliki dan Hanafi membolehkan kambing yang telah berumur 6 bulan asal gemuk dan sehat (Al-Mughni: 9:439, Ahkamu Adz-Dzabaih oleh Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris: 132). Hewan yang dikurbankan adalah unta, sapi dan kambing karena firman Allah subhanahu wata’ala, “Supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34) Hewan itu harus sehat tidak memiliki cacat, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Empat cacat yang tidak mencukupi dalam berqurban: Buta yang jelas, sakit yang nyata, pincang yang sampai kelihatan tulang rusuknya dan lumpuh/kurus yang tidak kunjung sembuh.”(HR.At-Tirmidzi) Waktu Penyembelihan Setelah shalat Idul Adha usai, maka penyembelihan baru diizinkan dan berakhir saat tenggelam matahari hari tasyriq (13 Dzulhijjah){Ibnu Katsir, 3/301}, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menyembelih sebelum shalat (Ied) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri.” (Disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim). Anjuran (Sunnah) dalam berkurban: 1. Menajamkan pisau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan berbuat baik pada segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, jika kalian menyembelih sembelihlah dengan cara yang baik, haruslah seseorang mengasah mata pedangnya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari). 2. Menyembunyikan pisau dari pandangan binatang, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh agar mempertajam pisau dan menyembunyikan dari pandangan hewan (yang akan disembelih). 3. Tidak membaringkan hewan sebelum siap alat dan sebagainya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa seseorang membaringkan kambing sedang dia masih mengasah pedangnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya: “Apakah anda akan membunuhnya berkali-kali? Mengapa tidak anda asah pedang anda sebelum anda membaringkannya.” (HR. Al-Hakim). 4. Menjauhkan atau menutupi penyembelihan dari hewan-hewan yang lain, sebab hal ini termasuk menyakiti dan menjauhkan rahmat. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah memukul orang yang melakukannya. (Mughni Al-Muhtaj: 4/272) 5. Memberi minum atau memperlakukannya sebaik-baiknya, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat orang menyeret hewan kurban pada kakinya ia berkata: “Celaka kalian! tuntunlah ia menuju kematian dengan cara yang baik.” (Al-Halal wal Haram: 58) Penyembelihan Kurban Disunnahkan bagi yang bisa menyembelih agar menyembelih sendiri. Adapun do’a yang dibaca saat menyembelih adalah: Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyembelih kurban seekor kambing, beliau membaca: “Bismillah wallahu Akbar, Ya Allah ini dariku dan dari orang yang tidak bisa berkurban dari umatku.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang orang yang tidak bisa menyembelih sendiri hendaklah menyaksikan dan menghadirinya. Pembagian Kurban Allah berfirman, “Maka makanlah sebagiannya (dan sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28) “Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36). Sebagian kaum salaf lebih menyukai membagi kurban menjadi tiga bagian: Sepertiga untuk diri sendiri, sepertiga untuk hadiah orang-orang mampu dan sepertiga lagi shadaqah untuk fuqara. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/300). Anjuran bagi orang yang berkurban Bila seseorang ingin berkurban dan memasuki bulan Dzulhijjah maka baginya agar tidak memotong/mengambil rambut, kuku atau kulitnya sampai dia menyembelih hewannya. Dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya." Dalam riwayat lain: "Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban." Hal ini, mungkin untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah, "...dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya ..."[Al-Baqarah: 196]. Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk isteri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok. Jika seseorang niat berkurban pada pertengahan hari-hari sepuluh itu maka dia menahan hal itu sejak saat niatnya, dan dia tidak berdosa terhadap hal-hal yang terjadi pada saat-saat sebelum niat. Bagi anggota keluarga orang yang akan berkurban tersebut dibolehkan memotong rambut dari tubuh, kuku atau kulit mereka (sebab larangan ini hanya ditujukan bagi yang berkurban), sehingga bila ada kepentingan kesehatan maka boleh memotong. Hikmah Kurban Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ’alaihissalam yang taat dan tegar melaksanakan kurban atas perintah Allah meskipun harus kehilangan putra satu-satunya yang didambakan (QS. Ash-Shaff: 102-107) Menegakkan syiar Dinul Islam dengan merayakan Idul Adha secara bersamaan dan tolong menolong dalam kebaikan (QS. 22: 36) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim dalam Mukhtashar No. 623) Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, maka mengalirkan darah hewan kurban ini termasuk syukur dan ketaatan dengan satu bentuk taqarrub yang khusus. Allah berfirman, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. 22: 34) Di hari-hari itu juga sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih, kebaikan dan kemasyarakatan, seperti bersilaturahmi, berkunjung sanak kerabat, menjaga diri dari rasa iri, dengki, kesal maupun amarah, hendaklah menjaga kebersihan hati, menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang yang terlilit kekurangan dan kesulitan. Namun bagi orang yang akan berkurban tidak harus meniru orang yang sedang ihram sampai tidak memakai minyak wangi, bersetubuh, bercumbu (suami istri), melangsungkan akad nikah, berburu binatang dll. Sebab yang demikian itu tidak ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun hendaklah kita menegakkan syiar agama Allah ini dengan amal shalih, amar ma’ruf dan nahi munkar dengan cara yang penuh hikmah, hendaklah setiap kita menggunakan kemampuan, keahlian, kedudukan dan segala nikmat Allah dengan sesungguhnya sebagai realisasi bersyukur dalam menegakkan ajaran dan syiar Dienullah Islam. Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa membimbing kita kepada cinta dan keridhaan-Nya. Amin. (Ahkamudz Dzaba’ih, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Min Ahkamil Udhiyyah, Syaikh Al-Utsaimin
 

Cahaya Di Wajah Ummat

50515_41445137114_8234270_nDalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.

Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).

Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.

Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.

Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.

Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.

Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.

Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)

Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan

Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin


 

Hadits ke-5

Dari Ibunda kaum mu’minin, Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak.”

Kedudukan hadits
Hadits ini sangat agung kedudukannya karena merupakan dasar penolakan terhadap seluruh bentuk bidáh yang menyelisihi syariát, baik bidáh dalam aqidah, ibadah, maupun muámalah.

Bidáh
Bidáh memiliki 2 tinjauan secara lughah dan secara syarí. Bidáh secara lughah berarti segala sesuatu yang tidak ada contoh atau tidak ada yang mendahuluinya pada masanya. Adapun bidáh secara syarí adalah seperti yang didefinisikan oleh para ulama, yaitu yang memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan secara terus menerus.
2. Baru, dalam arti tidak ada contohnya.
3. Menyerupai syariát baik dari sisi sifatnya atau atsarnya. Dari sisi sifat maksudnya seperti sifat-sifat syariát yaitu sudah tertentu waktu, tempat, jenis, jumlah, dan tata caranya. Dari sisi atsarnya maksudnya diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala. Bidáh termasuk jenis Dosa Besar, karena merupakan amal kemaksiatan namun mengharapkan pahala.

Mashalihul Mursalah
Kalau seseorang tidak benar-benar memahami hakikat bidáh maka dia bisa rancu dengan sesuatu yang disebut Mashalihul Mursalah. Sepintas, antara bidáh dan Mashalihul Mursalah ada kemiripan, namun hakikatnya berbeda. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :
1. Mashalihul Mursalah terjadi pada perkara duniawi atau pada sarana (wasilah) demi penjagaan lima maqosid syariát yaitu agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara bidáh terjadi pada ibadah atau ghayah.
2. Mashalihul Mursalah tidak ada tuntutan untuk dikerjakan pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam, adapun bidáh tuntutan untuk dikerjakannya sudah ada pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam.


 

Hadits ke-4

Hadits Ke-4


Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah(air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh(segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Alloh yang tiada tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapka atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan pangkal dalam bab taqdir, yaitu tatkala hadits tersebut menyebutkan bahwa taqdir janin meliputi 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan bahagia atau celakanya.

Perkembangan Janin
Janin sebelum sempurna menjadi janin melalui 3 fase, yaitu: air mani, segumpal darah, kemudian segumpal daging. Masing-masing lamanya 40 hari.

Janin sebelum berbentuk manusia sempurna juga mengalami 3 fase, yaitu:
1. Taswir, yaitu digambar dalam bentuk garis-garis, waktunya setelah 42 hari.
2. Al-Khalq, yaitu dibuat bagian-bagian tubuhnya.
3. Al-Barú, yaitu penyempurnaan.

Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr: 24, mengisyaratkan ketiga proses tersebut.

Hubungan Ruh dengan Jasad
Ruh dengan jasad memiliki keterkaitan yang berbeda sesuai dengan keadaan dan waktunya dalam 4 bentuk hubungan:
1. Tatkala di rahim. Hubungan keduanya lemah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad.
2. Tatkala di alam dunia. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad. Sementara hubungan keduanya sesuai dengan kebutuhan kehidupan jasad.
3. Tatkala di alam barzah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada ruh.
4. Tatkala di alam akhirat. Kehidupan ketika itu sempurna pada keduanya. Pada masa inilah hubungan keduanya sangat kuat.

Macam-macam Penulisan Taqdir
Allah menulis taqdir dalam 4 bentuk, yaitu:
1. Taqdir saabiq, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.
2. Taqdir úmri, yaitu penulisan taqdir bagi janin ketika berusia 4 bulan.
3. Taqdir sanawi, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk setiap tahunnya pada malam lailatul qodr.
4. Taqdir yaumi, yaitu penulisan terhadap setiap kejadian setiap harinya.
Keempat macam penulisan taqdir tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kecuali pada taqdir sabiq. Sebagaimana firman Allah: (Surat Ar-Ra’d: 39).

Taqdir Allah sama sekali bukan sebagai pemaksaan, Allah lebih tahu terhadap hambanya yang pantas mendapatkan kebaikan dan yang tidak.

Buah Iman kepada Taqdir
Beriman kepada taqdir akan menghasilkan rasa takut yang mendalam akan nasib akhir hidupnya dan menumbuhkan semangat yang tinggi untuk beramal dan istiqomah dalam ketaatan demi mengharap khusnul khatimah.
Beriman kepada taqdir bukanlah alasan untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Hati orang-orang yang shalih diantara 2 keadaan, yaitu khawatir tentang apa yang telah ditulis baginya atau khawatir tentang apa yang akan terjadi pada akhir hidupnya. Keadaan pertama hatinya para sabiqin dan keadaan ke-2 hatinya para abrar.

Rahasia Khusnul Khatimah dan Suúl Khatimah
Termasuk diantara kesempurnaan Allah yaitu menciptakan hamba dengan berbagai macam keadaan. Diantara hambanya ada yang khusnul khatimah sebagai anugrah semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan kejahatan dan diantara hambanya ada yang suúl khatimah sebagai keadilan semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan ketaatan. Hamba pada jenis yang terakhir ini bisa jadi pada hakikatnya tersimpan dalam hatinya kejahatan yang kemudian muncul secara lahir pada akhir hayatnya. Karena dalam suatu riwayat Rasulullah menyatakan bahwa amalan baik tersebut sekedar yang tampak pada manusia.


 

Hadits ke-3

Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”(HR.Bukhori dan Muslim)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang agung karena menyebutkan tonggak-tonggak Islam atau yang disebut dengan Rukun Islam. Berpangkal dari kelima rukun tersebut Islam dibangun.

Macam-macam penggunaan istilah Islam

Istilah islam digunakan dalam dua bentuk, yaitu:

1. Islam ‘Am berarti berserah diri kepada Allah dengan cara bertauhid, tunduk kepada-Nya dalam bentuk ketaatan serta bersih dan benci dari syirik dan penganutnya. Islam dalam pengertian ini merupakan ke-Islam-an makhluk secara umum tak seorangpun keluar dari ketentuan ini baik suka atau-pun terpaksa. Islam seperti ini-lah Islam yang diajarkan oleh seluruh rasul.

2. Islam Khos berarti Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam, yaitu: mencakup Islam dengan makna ‘am yang sesuai dengan tuntunan Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam. Jika istilah Islam datang secara mutlaq maka maksudnya adalah Islam khos.

Syahadatain
Syahadat tidaklah sah sehingga terkumpul padanya tiga hal: keyakinan hati, ucapan lisan dan menyampaikan kepada orang lain. Dalam kondisi tertentu terkadang diperbolehkan untuk tidak menyampaikan kepada orang lain. Makna syahadat “la ilaha illa’llahu” adalah menafikan hak disembah pada selain Allah dan menetapkan hanya Allah-lah yang berhak untuk disembah. Konsekuensinya harus mentauhidkan Allah dalam ibadah, oleh karena itu kalimat tersebut dinamakan sebagai kalimat tauhid.

Makna syahadat “Muhammad Rasulullah” adalah meyakini dan menyatakan bahwa Muhammad bin Abdillah adalah benar-benar utusan Allah yang mendapatkan wahyu berupa Kalamullah untuk disampaikan kepada manusia seluruhnya. Dan dia adalah penutup para Rasul. Konsekuensi dari syahadat ini yaitu membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan syar’iatnya .

Utusan Allah dari kalangan manusia mendapatkan wahyu melalui utusan Allah dari kalangan malaikat maka tidak-lah mereka langsung mendapatkan dari Allah kecuali pada sebagian, sesuai dengan kehendak Allah.

Hukum meninggalkan rukun Islam.
Hukum meninggalkan Rukun Islam dapat diperinci sebagai berikut:

1. Meninggalkan syahadatain hukumnya kafir secara ijma’.

2. Meninggalkan shalat hukumnya kafir menurut jumhur ulama atau ijma’ sahabat.

3. Meninggalkan rukun yang lainnya hukumnya tidak kafir menurut jumhur ulama.

Meninggalkan disini dalam arti tidak mengerjakan dengan meyakini kebenarannya dan kewajibannya, adapun jika tidak meyakini kebenarannya dan kewajibannya maka hukumnya kafir walaupun mengerjakannnya.

Pembagian Rukun Islam
Rukun islam terbagi menjadi empat kelompok yaitu:
1. Amal i’tiqodiyah yaitu syahadataian
2. Amal badaniyah yaitu solat dan puasa.
3. Amal maliyah yaitu Zakat.
4. Amal badaniyah dan maliyah yaitu haji.


 

hadits Ke-2

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

Kedudukan Hadits
Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.

Islam, Iman, dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.

Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegerttian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

Batasan Minimal Sahnya Keimanan

1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.

3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

6. Iman kepada Taqdir.
Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lesannya, dan anggota badannya.

Taqdir Buruk
Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta taqdir, maka semuanya baik.

Makna Ihsan
Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

1. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi.

2. Maqom Musyahadah yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut.




 

Hadits Ke-1



Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)[1]

Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).

Setiap Amal Tergantung Niatnya
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.

Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.

Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

1. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

2. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:

a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.

b. Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.

c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.

Beribadah dengan Tujuan Dunia
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.

Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.

Bentuk-bentuk Hijrah:
1. Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2. meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3. Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.

Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

 

Buah Mengimani Hari Akhir

50515_41445137114_8234270_nIman terhadap hari akhir (kiamat) secara khusus diulang-ulang, baik dalam Alquran maupun Hadis. Kerap penyebutan itu terkait dengan penguatan komitmen untuk melaksanakan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu. ''... jika berselisih tentang sesuatu, hendaklah kalian kembalikan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir... (Qs 4:59).

kaki-kaki mereka atas segala yang mereka kerjakan.'' (Qs 36:65). Karenanya, rangkaian amal terkait jenazah bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga moral-spiritual.

Alquran berulang-ulang mengantar harapan Rasulullah saw dan para sahabat jauh ke depan, bahwa kemenangan sejati akan mereka capai di akhirat nanti.

Dengan iman terhadap hari akhir, seorang pejuang tidak kenal putus asa. Apa dan berapa saja pengorbanan di jalan Allah, ia sangat yakin akan catatan dan ganjarannya. Bahkan, Alquran melarang mengatakan mujahid yang syahid di jalan Allah sebagai mati karena mereka memang hidup (QS 2:154/ 3:169).

Demikianlah para rasul dan para pengikut tidak merasakan kepedihan dalam perjuangan. Kalau wajah seorang Yusuf AS, remaja yang tampan, telah membuat perempuan-perempuan di Mesir mengiris-iris jari-jari mereka tanpa sadar, betapa keindahan surga dan kepastian janji Allah telah membuat para pejuang di jalan-Nya sama sekali tidak merasa rugi, kalah atau sia-sia. Sebaliknya, mereka yang menzalimi diri sendiri atau sesama harus segera ingat bahwa ada batas usia bagi kehidupan dan ada persidangan yang adil. Sesudah itu kebahagiaan atau kesengsaraan abadi.

Iman terhadap hari akhir menyuburkan sikap tanggung jawab. Mereka yang dipuji-Nya sebagai orang-orang yang ''... pagi dan petang bertasbih di rumah-rumah Allah'' adalah orang-orang yang tidak terlalaikan oleh aktivitas perdagangan dan jual beli, dari mengingat Allah, menegakkan shalat dan menunaikan shalat, ''Karena mereka takut akan hari saat berguncang-guncangnya hati dan penglihatan... (Qs 24:37)

Iman ini juga menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan semangat juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

'Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapa pun selain Allah ....'' (QS 9:18). Penyiksaan terhadap keluarga Yasir RA sangat brutal, khususnya pembunuhan Sumayah, istri Yasir. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain berdoa dan berharap. Keluarlah kata bersayap Rasulullah, ''Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat kalian berjumpa (esok) di surga.''

Sangat menyentuh dan membuat gairah takwa saat membaca atau mendengar ayat-ayat Hari Akhir, ''Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.'' (Addzariyat: 14-19).

 

Kata Pengantar

Pengantar


Sesungguhnya segala puji dan syukur hanya untuk Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari keburukan jiwa-jiwa kami dan dari kejelekan amal-amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Kami juga bersaksi bahwa Muhammad bin ‘Abdillah adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluargnya, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa berusaha mengikutinya hingga Hari Kiamat kelak.

Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Surat 3. ALI 'IMRAN - Ayat 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Surat 4. AN NISAA' - Ayat 1)

Amma ba’d.

Sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah Firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru dalam masalah agama. Sesungguhnya setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ujung-ujungnya adalah Neraka.

Arba'in An-Nawawi adalah kitab kumpulan hadits yang sangat terkenal. Berisi hadits-hadits yang sangat mendasar bagi pembentukan pemahaman seseorang akan hakekat Dienul Islam. Maka sudah semestinya bagi setiap muslim untuk mempelajarinya dengan pemahaman yang benar. Terdorong untuk membantu saudaranya dalam memahami hadits-hadits tersebut, penulis bersama ikhwan mahasiswa mengadakan dauroh kitab Arba’in. Untuk memudahkan peserta dauroh, penulis terpanggil untuk membuat ringkasan syarah. Penulis memandang bahwa syarah Syaikh Sholeh Alu Syaikh sangat bermanfaat. Karena beliau menyampaikan penjelasan dengan mendahulukan hal-hal yang sangat mendasar sebagai landasan untuk memahami Dienul Islam lebih lanjut. Disamping bahwa syarah tersebut beliau sampaikan dalam forum dauroh yang diadakan di negaranya baru-baru ini. Maka diharap lebih sesuai dengan kebutuhan umat dewasa ini.

Karena ringkasan ini disusun dalam waktu yang sangat singkat, maka tentu saja banyak kekurangan. Maka penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca
 

Khutbah 'Idul Adha 1421 H

50515_41445137114_8234270_nBeberapa kali Ied kita, beberapa kali takbir dimalam dan siang hari raya-hari raya kita dalam beberapa tahun terakhir masih terus diliputi keprihatinan yang sangat dalam. Hari raya ditengah asap dan api ; rumah ibadah, rumah tinggal, pasar dan sekolah yang hangus serta darah yang tertumpah, nyawa yang melayang dan tubuh-tubuh kaku yang terbunuh. Lebih-lebih lagi pahitnya sebagian petinggi dan orang-orang yang diberi amanah oleh ma-syarakat mengesankan sikap mendukung, memaklumi atau me-wajarkan kezaliman. Inna lillahi wainna ilahi raji’un ! Tak ada yang lebih patut bagi para hamba ALLAH yang beriman kecuali semakin menundukkan kepala, merendahkan hati dan mengakui segala dosa, seraya memohon taubat dan ampunan ALLAH

Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.

Kisah haji adalah kisah pengorbanan, sama sebagai-mana sejarah qurban itu sendiri. Tidak ada yang dapat menyuburkan iman seorang mukmin sebaik pengor-banan, seperti pupuk menyuburkan tetumbuhan. Seseo-rang yang berjiwa besar sangat sadar bahwa kemuliaan, kepemimpinan dan kebahagiaan tak mungkin diraih tanpa pengorbanan. Ujian merupakan syarat naik jenjang dan ke-pangkatan di hadapan ALLAH dan di tengah ummat manusia. ALLAH berfirman ( 2;124)

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon ju-ga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Seberapa besar ujian yang dihadapi para rasul, ulama amilin dan mujahidin ? Cobalah bayangkan satu episode perjalanan nabi Ibrahim AS. Imam Bukhari meriwayatkan :

“…… kemudian Ibrahim membawa isterinya beserta anaknya (Isail AS) yang sedang disusukannya, sampai ia meletakkannya di Baitullah di Dauhah, diatas Zamzam (yang belum lagi muncul kala itu) di bagian masjid yang paling tinggi. Di Makkah waktu itu belum ada manusia dan belum ada air. Ia letakkan mereka disana. Ia bekali mereka dengan sekantung kurma dan sekan-tung air dan segera bergegas pergi. Ummu Ismail mengikutinya sambil bertanya “Wahai Ibrahim, akan kemana kau pergi me-ninggalkan kami di lembah ini tanpa siapa-siapa tanpa apa-apa ?”. Diucapkannya kalimat itu berulang-ulang, namun ia tak juga menoleh. Akhirnya Ummu Ismail bertanya : ALLAH kah yang menyuruhmu melakukan ini ?” Ia menja-wab : “Ya”. Ummu Ismail berkata : “jika begitu, tentulah Ia takkan sia-siakan kami”, kemudian ia kembali dan Ibrahim berangkat. Sesampainya di tsaniyah (jalan tinggi di bukit) tem-pat mereka tak lagi melihatnya, ia hadapkan wajahnya ke Bait Allah, berdoa dengan beberapa kalimat dan mengangkat kedua tangannya :

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebaha-gian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-ta-naman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada me-reka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mu-dahan mereka bersyukur.

Lihatlah, betapa lurusnya keluarga ini memandang perintah ALLAH. Betapa ringannya mereka melaksanakan titah agung i-ni. Mereka utamakan ketaatan daripada kesenangan pribadi. Dari ketiga permintaan, ternyata yang pertama dimintanya agar ketu-runannya menjadi penegak shalat, kemudian untuk menopang da’wah ia minta mereka dicintai ummat manusia, barulah per-mintaan ketiga agar ALLAH memberikan mereka rezki. Padahal keadaan sangat sulit ; tak ada sanak, kerabat bahkan manusia, tak ada air dan sumber makanan. Hanya mereka berdua ; seorang perempuan yang baru melahirkan dan bayi kecil yang baru bebe-rapa belas atau beberapa puluh tahun kedepan diangkat menjadi rasul.

Dimana keluarga modern hari ini dengan keturunan yang sangat terjaga dan tercukupi, bahkan dimanjakan makan minum mereka dibandingkan mereka yang serba kekurangan dan jauh dari kese-nangan ? Lihatlah bedanya keluarga dunia, benda dan nafsu di-bandingkan keluarga akhirat, iman dan akhlaq. Apa yang mam-pu dihasilkan keluarga modern dengan kecukupannya diban-dingkan keluarga para rasul dan orang-orang saleh dalam keku-rangan mereka. Soalnya bukan soal kaya atau miskin, tetapi keterikatan dan kesetiaan mereka kepada ALLAH, seperti sifat para pemakmur masjid dan jamaah kebajikan :

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat hati dan penglihatan menjadi guncang.

Bagaimana para nabi tahan diejek dan dikucilkan, difitnah dan diintimidasi, dibunuh dan diusir dari tanah air, suatu hal yang tak pantas dilakukan terhadap manusia-manusia jujur di tengah bangsanya, yang hewanpun tak pernah mendapat perlakuan zalim dari mereka.

Dari Urwah, dari Aisyah RA, beliau pernah berkata : “Demi ALLAH wahai ananda, pernah kami memperhatikan hilal (bulan sabit), kemudian satu hilal, sampai tiga hilal dalam dua bulan, tak ada api yang menyala di rumah Rasulullah SAW”. Kuberta-nya : ‘Apa yang menghidupimu selama itu ?’ Beliau menjawab : “Air dan kurma. Hanya saja Rasulullah SAW punya tetangga yang memiliki kambing susu, mereka mengirimkan sebagian susunya untuk minuman kami”

Berkata Utbah bin Ghazwan dalam satu khutbahnya : “Sungguh kulihat diriku satu dari tujuh orang sahabat bersama Rasulullah SAW, tak ada lagi makanan pada kami kecuali dedaunan pohon, sehingga bengkaklah kerongkongan kami. Kutemukan sehelai mantel, kubelah dua dengan Sa’d bin Malik, setengahnya kupakai dan setengahnya lagi dipakai Sa’d. Hari ini setiap kami - tanpa kecuali - telah menjadi amir (gubernur) di kota-kota besar. Aku berlindung kepada ALLAH agar tidak menjadi besar dalam pandangan sendiri dan kecil dalam pandangan ALLAH”

Apa yang dipanen sebuah bangsa muslim yang besar ini, saat ba-nyak orang tua hanya berfikir ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah, semoga ia kelak punya kedudukan yang basah bila jadi pejabat, menjadi orang pintar yang dapat kaya dalam waktu singkat atau menjadi santeri yang pandai berceramah sehingga laris dan mudah menghimpun pengikut serta segala kekayaan yang menyusulnya. Betapa rentannya semua ini menghadapi konflik horizontal, saling bunuh, penghancuran dan pembakaran harta sesama, pemanjangan derita rakyat dengan KKN baru, ke-dakpedulian terhadap munculnya berbagai kemunkaran, marak-nya perjudian gelap dan terang, 2 juta mangsa narkoba yang me-lumpuhkan bangsa ini, pelacuran dengan alasan klasik kesulitan hidup.

Sebuah masyarakat adalah cermin keluarga didalamnya. Ke-pemimpinan yang sehat selalu berfikir bagaimana melayani, mengayomi dan mendidik bangsa ke arah kemuliaan. Bukan mencengkeram mereka dengan kejam dengan alasan pendewasa-an, pengamanan atau perlindungan, tidak pula membiarkan me-reka bebas tanpa kendali dengan alasan apapun, baik HAM, de-mokratisasi atau pemberdayaan masyarakat.

Sesungguhnya dari berbagai pensikapan bangsa terhadap para rasul mereka, kita dapatkan pelajaran dan rambu-rambu sangat berharga.

Bila sikap ikhlas, ketundukan diri dan pengorbanan, menjadi jiwa bangsa, maka generasi yang ada akan mendapatkan begitu banyak keberkahan. Lihatlah cermin perempuan terdidik seperti Ummu Ismail AS yang dengan yakin mengatakan : “Idzan la Yudlayyi’ana (Kalau begitu Ia tak akan sis-siakan kami)”. Dari rahim dan asuhan mereka akan lahir generasi Ismail AS yang dengan yakinnya menjawab :

Qs. (37:102) :

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesung-guhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapak-ku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Bila kebodohan dan nafsu telah menguasai kehidupan suatu ma-syarakat, maka mereka lebih suka memilih pola hidup material-listik dan hedonik ; semua demi benda dan kesenangan. Tujuan-tujuan luhur menjadi kabur, nilai dan akhlak mulia menjadi lun-tur, persaudaraan, kasih sayang dan kesetiaan menjadi hancur.

Peran ibu dirumah tangga sangat strategis dalam membentuk bangsa.Bentukan baik atau buruk, amanat atau khianat, iman atau kufur, sangat terkait dengan sikap dan kiprah mereka. Ibu kandung atau ibu nasab, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam da’wah dan pendidikan ;

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi o-rang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu ke-dua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (sik-sa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke ne-raka bersama orang-orang yang masuk (neraka)". Dan Allah membuat isteri Fir`aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari ka-um yang zalim",

Ibunda nabi Ismail, ibunda kandung nabi Musa yang melahirkan, menyusukan dan merawatnya dan ibunda asuh nabi Musa, yang merawatnya dan aktif membelanya dari berkali-kali rencana pembunuhan oleh Firaun, sejak bayi sampai jadi nabi, semua menunjukkan adanya ta’tsir (pengaruh) berkesinambungan pada anak nasab ataupun anak asuh. Demikian halnya peran pendidik di tubuh bangsa sebagai tanggungjawab para pemimpin dan pe-mimpin tertinggi, bila telah menyimpang dari jalan yang lurus, bersikap seperti isteri nabi Nuh AS yang mengkhianati ajaran suaminya, maka anak-anak bangsa akan menjadi seperti anak nabi Nuh yang menolak bergabung dalam bahtera penyelamat.

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

Kalau hukum, undang-undang dan para penegak hukum begitu keras kepada pelanggar lalu lintas….. Kalau para polisi menang-kap pengendara sepeda motor yang tak menggunakan helm, de-ngan dalih perlindungan batok kepala rakyat, lebih beralasan lagi bila mereka bertindak tegas melindungi isi yang ada dibalik ba-tok kepala itu dari segala yang merusaknya, baik dengan meme-rangi sekeras-keras-nya tayangan, siaran atau penerbitan porno, permissive, atheis, syirik serta takhayul, khurafat dan bid’ah, yang telah menyebab-kan lebih dari dua juta rakyat terutama generasi mudanya berge-limang dalam narkoba perjudian, zina dan berbagai sikap arogan dihadapan ALLAH Rabbul Jalal. Juga memerangi para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat di negeri yang kaya raya ini. Kalau kekuasaan, kekayaan dan ber-bagai ni’mat yang dilimpah-kan kepada suatu bangsa, pemerin-tah dan rakyatnya, maka ke-sombongan akan menjadi perhiasan dan kebanggan mereka. Da’wah keabjikan dianggap gangguan, amar ma’ruf nahi mun-kar dianggap makar, karena semua tak suka dihalangi dari aksi bunuh diri massal dalam maksiat yang terlaknat itu. Simaklah komentar bangsa-bangsa dimasa lalu ke-pada para rasul mereka :

Kaum Nabi Luth (7;82/27;56)

Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri."

Kaum nabi Shalih (11;62)

Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebe-lum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, a-pakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disem-bah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-be-tul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."

Kaum Musyrikin Quraisy kerabat Rasulu’LLAH Muhammad, Saw.

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakan-mu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (Alanfal 30)

Taqwa telah menjadi kalimat yang begitu gampang diucapkan sembarang mulut, padahal ia adalah sebuah hakekat, bukan kla-im atau akuan, bukan pula pameran dan kepura-puraan. Ketika melihat melimpahruahnya jamaah haji, bertuturlah seorang kha-lifah : “Oh, alangkah sedikitnya orang haji dan alangkah ba-nyaknya wisatawan”. ALLAH mengingatkan tentang hakekat qurban :

Daging-daging dan darah qurban itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan :

Dari Abi Hurairah RA, ia berkata : ‘Rasulullah SAW bersabda : “Seorang muslim adalah saudara muslim, ia tak boleh mengkhianatinya, mendustai-nya, menghinakannya. Setiap muslim haram bagi sesama muslim ; kehor-matannya, hartanya, darahnya. Taqwa disini (beliau memberi isyarat ke dadanya). Cukuplah se-seorang (menjadi) jahat karena menghina saudara muslimnya”

Dari Sa’d bin Abi Waqqash RA, beliau berkata : “Akulah orang Arab pertama yang melemparkan tombak di Jalan ALLAH. Sungguh kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW, tanpa punya makanan selain daun hublah dan samur ini. Sungguh kami buang air seperti kotoran domba, tanpa cam-puran” (Muttafaq Alaih, Bukhari Muslim).

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger