Shalawat

50515_41445137114_8234270_nApa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi  kematian  orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika  tak  ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang  menantang  mentari  dalam panasnya dan menggetarkan jutaan  bibir  dengan  sebutan  namanya,  saat muaddzin mengumandangkan adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal.  Ia   makan  di  lantai  seperti budak,  padahal  raja-raja  dunia  iri  terhadap   kekokohan   struktrur masyarakat  dan  kesetiaan  pengikutnya.  Tak  seorang  pembantunya  pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap  benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke  rumah  puteri dan menantu tercintanya, Fathimah  Az-Zahra  dan  Ali  bin  Abi  Thalib. 

Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya  menjadi  manja  dan hilang kemandirian. Saat bani Makhzum  memintanya  membatalkan  eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia  menegaskan:  "Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang  sebelum  kamu  ialah,  apabila  seorang bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri  itu  rakyat jelata mereka tegakkan hukum atas-nya. Demi Allah,  seandainya  Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."

Hari-harinya penuh kerja dan intaian  bahaya.  Tapi  tak  menghalanginya untuk -- lebih dari satu dua kali  --  berlomba  jalan  dengan  Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah  binti  Abu  Bakar  Ash-Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan  pesona  diri  dijalin dengan hormat dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai  dengan  namanya  "si Benar". Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia  masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil  ia  menjawab:  "Labbaik". Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di  luar  rumah,  namun  tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai "orang rumah".

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama  perempuan  mendapatkan  kedudukan  amat  mulia."Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik  terhadap  keluarganya  dan  akulah orang  yang  terbaik  diantara  kamu  terhadap  keluargaku."  "Tak  akan memuliakan  perempuan  kecuali  seorang  mulia  dan  tak  akan  menghina perempuan kecuali seorang hina," demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau  di panglimai shahabatnya  (sariyah)  sebanyak  35  kali,  ia  masih  sempat mengajar Al-Qur'an, sunnah,  hukum,  peradilan,  kepemimpinan,  menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan  bahkan  hubungan  yang  paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan  wibawa.  Padahal,  masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya  selalu  bernilai  sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang  belum  mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing  di  lantai  masjid  yang  berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja  memukulnya.  Sabdanya kepada mereka: "Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya."  Sang  Badui terkagum.  Ia  mengangkat  tangannya,  "Ya  Allah,  kasihilah  aku   dan Muhammad.  Jangan  kasihi  seorangpun  bersama  kami."   Dengan   senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul  dekat,  bermain dengan anak-anak, bahkan  memangku  balita  mereka  di  pangkuannya.  Ia terima  undangan  mereka;  yang  merdeka,  budak  laki-laki  atau  budak perempuan, serta kamu miskin. Ia  jenguk  rakyat  yang  sakit  di  ujung Madinah. Ia terima permohonan ma'af orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa  yang  menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu  sebelum  shahabat  tersebut yang menariknya. Tak  pernah  menjulurkan  kaki  di  tengah  shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan  siapa  yang  datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau  ibu  si  Fulan).  Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan.  Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat, ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan  tempur  ia  berkata:  "Seandainya  ada seorang shalih mau mengawalku malam ini." Dengan  kesadaran  dan  cinta, beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di  tengah  malam  terdengar  suara gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke  arah  sumber  suara. Ternyata Ia telah ada di sana mendahului  mereka,  tagak  di  atas  kuda tanpa pelana. "Tenang, hanya  angin  gurun,"  hiburnya.  Nyatalah  bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau  pemanjaan  diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata : "Rasulullah SAW wafat tanpa  meninggalkan makanan apapun yang dimakan makhluk hidup, selain  setengah  ikat gandum di  penyimpananku.  Saat  ruhnya  dijemput,  baju  besinya  masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum."

Sungguh ia berangkat haji dengan  kendaraan  yang  sangat  seerhana  dan pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya  berkata,"Ya  Allah,  jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan  sum'ah."  Pada  kemenangan  besar saat Makkah ditaklukkan, dengan  sejumlah  besar  pasukan  muslimin,  ia menundukkan kepala, nyaris  menyentuh  punggung  untanya  sambil  selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita  pantas  menyesal  tidak  mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat  atasnya:  "Semua  nabi mendapatkan hak untuk  mengangkat  do'a  yang  takkan  ditolak  dan  aku menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti."

Ketika masyarakat Thaif menolak  dan  menghinakannya,  malaikat  penjaga bukit menawarkan untuk  menghimpit  mereka  dengan  bukit.  Ia  menolak, "Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan dari sulbi mereka kelak akan menerima da'wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak  menyekutukan-Nya dengan apapun."

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran juwanya.  Pertama, Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia  begitu  refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima  segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh,  shahabat  yang  membenci,  dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati,  hamparan akal, nafsu dan  perilaku  yang  menantang  untuk  dibongkar,  dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu  dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan  pernyataan-Nya  bahwa  Ia  dan para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan dengan begitu "vulgar" perintah  tersebut,  "Wahai  orang-orang  yang  beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam."

Allahumma shalli 'alaihi wa'ala aalih !


Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger