Dialog tentang Nasehat

Seorang teman termenung di bangku suatu taman. Ia tertunduk, menghela nafas yang dalam. Tubuhnya kini mulai bersandar di sandaran bangku itu. Ia kelihatan tidak kuat lagi megkokohkan tubuhnya sendiri. Seolah-seolah ia mempunyai beban yang sangat berat ditanggung dalam kehidupannya. Itu terbukti dengan menghembuskan nafasnya berkali-kali dengan mata terpejam. Ingin memasrahkan segala masalah itu pada Allah, Tuhan dia.
“Akhi, saya tidak kuat lagi menaggung beban ini. mengapa teman-teman saya yang notabennya seorang Aktivis Da’wah sering tidak paham dengan nasehat agama itu. Kenapa mereka malah mencoba menyerang setelah mereka diberi nasehat. Aib-aib dan kesalahan yang memberi nasehat itu malah dikeluarkan. Terus terang, saya jadi merasa enggan memberi nasehat itu kepadanya. Mungkin saya tidak pantas memberi nasehat walaupun hanya sedikit saja. Saya banyak aib dan dosa.”
Begitu keluh sahabat saya satu ini. Sungguh pernyataannya tidak sesuai dengan faktanya. Saya lihat dia orang-orang yang terus mencoba memperbaiki diri. Segenap kekuatan menjauhi dari perbuatan maksiat. Selalu mencoba mendekati Allah dengan Tahajud dan Al-Qurannya. Iapun sangat sederhana, tidak neko-neko. Ia sangat ingin menjaga diri dari perbuatan yang dibenci Allah.
Begitu iba mendengarnya, kemudian saya mengatakan,
“Akhi, memang begitulah efek dari sebuah nasehat itu. Nasehat itu seperti kita menyulam/menjahit dengan jarum. Dalam Fathul Bari disebutkan bahwa nasehat adalah perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya. Ia bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga kembali layak dipakai. Pakaian yang mereka pakai sudah robek. Kita tidak ingin melihat teman kita memakai pakaian robek kemana-mana. Tapi, kadang kala ketika kita memberitahu mereka tentang ihwal pakaiannya, banyak juga yang tersinggung awalnya. Karena mereka langsung menyikapi perkataan temannya tanpa melihat dulu apakah bajunya robek. Jika saja mereka berhenti sejenak kemudian meneliti keadaan baju itu, maka dipastikan mereka akan berterimakasih kepada antum. Karena jika tidak memberitahunya, maka ia akan malu.”
Saya menghela nafas dengan lembut, mencoba mengeluarkan nada perkataan sebagus mungkin,
“ Akan tetapi, jika antum ingin memberi nasehat; antum harus tahu resikonya.”
“Seperti apakah resiko itu wahai teman?” teman saya balik bertanya.
“ Ya, kayak tadi. Jika antum tidak berusaha menutupi aib-aib antum didepannya, maka antum akan diserang bertubi-tubi. Bukannya mendapat kebahagiaan karena telah memberi nasehati kepada temannya itu, malah antuk akan disakiti dengan hunusan pedang ‘cermin aib’ antum. Dan itu akan lebih menyakitkan untuk diri pemberi nasehat itu. Bagaimana mungkin ia tidak tesakiti jikalau yang datang aib-aibnya. Dan....” saya berhenti sejenak dan menerawang.
“ jika antum tidak kuat dengan itu semua, antum akan trauma dengan nasehat itu. Antum akan berhenti sebagai pemberi nasehati. Dan itulah yang menyebabkan keguncangan Agama yang mulai retak. Akibatnya, tidak ada yang mau saling menegur, dan terjadilah malapetaka yang dahsyat bagi para aktivis Da’wah.”
Saya pun melanjutkan...
“Antum tahu apakah hukumnya tentang nasehat itu?” Tanya saya kepada teman saya itu.
“ Iya saya mengetahui itu. Akan tetapi saya lupa dengan jelasnya. Bisa antum jelaskan?” dia malah balik bertanya,
“ Sebenarnya banyak sekali bahkan tak terhitung ulama-ulama menjelaskan ini. saya kutip saka penjelasan dari Imam Nawawi yang menukil juga perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).”
“Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).”
“Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).”
Sejenak kami diam. Seolah-olah kami merenungi perjalanan nasehat kami dengan sekilas.
Teman saya kemudian memecah kesunyian itu dan mulai bertanya lagi,
“ Ya Rabb, begitu indahnya nasehat itu. Indahnya itu terlalu melupakan luka-luka yang mereka serang. Berarti kita tidak boleh berhenti memberi nasehat ya. Terus memberi nasehat walau resikonya terlalu banyak. Dan kita juga harus mulai menjaga dan membina kedekatan kita kepad Allah, bertaubat dan berusaha menghindari kemaksiatan-kemaksiatan.” Perkataannya yang berkobar semangat.
“ Ahsanta, betul sekali akhi. Yuk kita sama-sama berjuang dalam hal ini.” saya membenarkan perkataannya.
Saya pun berhenti dan kami berdua menghela nafas yang panjang. Angin yang sepoi-sepoi pun ikut meneduhkan suasana hati kami.
Kami berpelukan dengan hangat. Rasa pertemanan dengannya semakin mengikat dan mengakar. Maka, saya dengan lirih berdo’a,
“ Ya Rabb, ikatkanlah kami dengan Rabithah-Mu. Sungguh kami akan berusaha merajut impian dan cita-cita bagi Da’wah ini dengan ukhuwah yang sebenar-sebenarnya ukhuwah. Ukhuwah saling nasehat dan menasehati. Tutupilah Aib-aib kami dan jadikanlah kami orang-orang yang tak pernah berputus asa dalam memberi nasehati ini.”

Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”

 

Lahirnya sikap

Terjebak dalam sikap seringkali dapat meruntuhkan image/citra yang kita rangkai pada hari masa lalu itu. Membuat pola yang aneh, mengacaukan, menindas bahkan melenyaokannya. Sikap yang diembel-embelkan dan dihiasi dengan indah, kini ketakutan. Bahkan sekedar mendongkakan kepala saja pun terasa enggan dan berat.
Sikap itu selalu muncul ketika hilangnya prinsip, ketika hilang ruh-ruh yang semestinya selalu mengalir di denyut-denyut nadi kehidupan. Sebuah sikap yang benar-benar menjelaskan makna dibalik sikap itu.
Karena sikap itu muncul setelah pertarungan pemikiran-pemikiran yang selalu melintas diantara gumulan pikiran positif dan negatif. Setelah terkumpul, menganalisa, hingga berakhir dengan sikap yang tercermin dalam suatu perbuatan sebagai hasil dari akhir pertarungan itu.
Dalam pertarungan itu, kejernihan dan kekotoran selalu saja membuat setiap orang khawatir. Sebab, setiap orang mempunyai naluri yang amat tajam terhadap fitrah. Fitrah semua orang adalah berbuat baik. Akan tetapi, jika disandarkan kepada fitrah itu, kenapa masih ada bahkan banyak yang dikalahkan oleh kekotoran itu. Bukankah kejernihan kebenaran itu lebih dekat dengan fitrah manusia?
Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya, namun manusialah sendiri yang mendzaliminya.
Bagaimana mungkin kebenaran akan sampai diterima dihati, menggerakan dan akhirnya melahirkan perbuatan sebagai hasil dari sikap itu, sementara hati kita menutup kedatangannya? Bagaimana mungkin akan bisa masuk, sedangkan pintu hati kita terkunci dan kita tidak mau membukannya? Seperti itulah, sungguh sebenarnya mereka sangat dekat dengan kejernihan, namun mereka terhalang oleh ‘sekat’ yang merasa jauh, padahal mereka sangat dekat. Bahakan nyaris sekali sangat dekat.
Diantara unsur pembentuk ‘sekat’ itu adalah kesombongan, egois dan keras kepala. Kesombongan tentu saja akan memacu orang yang memiliki sifat itu akan merendahkan orang lain, menganggap bahwa dia sendiri yang merasa paling benar, yang akhirnya sesuatu yang keluar dari lidah orang lain, tentu ia tidak akan diterima. Akibatnya pelajaran-pelajaran atau hikmah-hikmah yang terjadi tidak membuat mereka sadar tentang kenyataan itu. Sedangkan keegoisan dan keras kepala hanya akan membentuk seseorang menjadi jauh dari kebenaran, bahkan kebenaran itu enggan mendekati mereka.
Hidayah itu akan datang ketika hati siap menerimanya. Namun jika hati tidak siap menerimaya, walaupun mereka dihantam berjuta-juta kebenaran., tidak menghasilkan apa-apa.
Alangkah tercengangnya hati itu, gembira dengan keadaannya, tidak terpengaruh oleh tarikan jebakan syahwat, menembus asa yang paling tinggi. Suatu sikap yang paling tinggi, paling indah dan paling mulia.
Maka adakah sikap yang terpuji melebihi sikap itu???
Itulah sikap para pengemban risalah da’wah, pewaris nabi, dan mereka sikap mereka yang hidup didalamnya.
 

Jangan begitu Ummi..

Ada banyak orang tua yang tidak pernah mengikuti psikologi seorang anaknya. Banyak pula yang memahami bahwa kebahagiaan itu terletak di materi/keuangan ataupun jabatan yang bergengsi.
“ kerja dimana?” tanya ibu itu.
“ Di Bank Syariah Mandiri.” Jawab pemuda itu.
“ Tadinya, anak saya mau kuliahkan di jurusan akuntansi. Tapi sayang, di ga mau. Malahan dia berani mengambil keputusan untuk belajar ke Lembaga Tahfidz untuk menghafal Al-Qur’an. Ya, mau gimana lagi, itu kan keinginan anak saya,,”Ibu itu menjelaskan penyesalannya.”

Renyuh hati saya, sedih dan kecewa dengan sikap seorang Ibu itu. Di dalamnya, ada semacam teriakan yang menandakan bahwa Ibu itu orang awam. Tapi, sekali lagi saya katakan bahwa keluarga Ibu itu orang yang terpandang cukup religius. Lalu, kenapa Ibu itu bersikap seperti itu?
Seseorang, siapapun orangnya, bahkan walaupun dari komunitas agamapun tidak serta merta selalu mendukung bagiannya untuk melakukan sesuatu. Ibu itu dengan jelas memberikan pemahaman yang secara tidak langsung kepada kita bahwa kebahagiaan itu diukur dari apakah kuliahnya selesai, apakah dia mendapat pekerjaan dan apakah pekerjaannya itu bergengsi. Ibu itu tidak berpikir tentang kenyakinan tentang kebahagiaan bersama keimanan. Tidak memahami bahwa ketenangan itu akan ada dan tidak pernah habis sampai kita bertemu di Hari Akhir.
Lalu, apakah Ibu itu tidak mengetahui bahwa harta itu akan lenyap. Kegantengan itu akan pudar, dan jabatan itu akan lengser sedangkan Ilmu itu tidak akan pernah lenyap? Apakah tidak mengetahui bahwa banyak sekali orang yang mempunyai kondisi yang sesuai dengan harapan Ibu itu malah kecewa dan sedih karena mereka terpahami bahwa semuanya itu tidak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan Ilmu agama, apalagi tentang Tahfidz Al-Quran? Apakah ibu itu mengetahui bahwa materi yang ia dapatkan dari anaknya itu hanya sementara, sementara do’a anak yang Sholeh itu akan terus tetap mengalir walaupun berbeda dunia? Apakah materi itu akan bisa menyelamatkan dari siksa yang Allah akan timpakan kepada orang dzalim?
Ibu itu tidak mengetahui, walau disampingnya ada tasbih, ada Al-Quran dan selalu tahajud.
“ Ya Umi, Alhamdulillah sekali umi punya anak yang menghafal Al-Quran. Banyak sekali irang yang iri dengan umi karena di karuniai anak yang sholeh seperti itu. Kalau saya boleh memlilih antara kekayaan yang banyak yang diberikan secara rutin dan jabatan yang bergengsi dengan seorang yang sederhana tpi dekat dengan Allah dengan Tahfidz Al-Quran, maka saya pasti memilih yang kedua. Saya tidak akan pernah bingung dan bimbang memilihnya. Karena saya tahu dia akan bermanfaat bukan saja di dunia, tapi di akhirat juga.” Jawaban seorang teman Ibu itu ketika ditanya tentang pembandingan anaknya.
Ibu itu diam saja, tidak bereaksi.
Bagi seorang anak yang lebih memilih untuk menghafal Al-Quran ketika dirinya harus melanjutkan kuliah atau tidak, tetapi ia malah memilih utuk belajar Al-Quran adalah luar biasa menurut saya. Di tinggalkan dunia demi akhirat. Dan satu lagi, ia akan mengangkat dan mempersembahkan jerih payahnya demi orang tuanya.
Anak itu sedih, menitikan air mata ketika Ibunya sendiri merasa tidak sudi jika ia meninggalkan kuliah dan hidup pas-pasan demi menghafal Al-Quran. Ia berteriak di dalam hati, apalagi jika ia dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya yang menurut Ibu itu berhasil. Karena secara rutin mengirim uang untuk Ibunya. Gara-gara seperti itulah ibu itu memberi persepsi tentang kebahagian.
Anak itu dikeheningan malam duduk tafakkur, menahan tetesan air mata. Ia tumpahkan kepada Rabbul Izzati tentang kelemahannya dalam keluarga itu. Ia juga ingin seperti kakak-kakaknya, ia ingin memberi kebahagiaan berupa uang utuk Ibunya. Namun ia belum mampu, karena kini ia lebih menghabiskan waktunya untuk menghafal Al-Quran,
“ Rabb...” begitulah anak itu memulai pengaduaannya.
“Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Aku ingin bermanfaat bagi keduanya. Saat ini, jalan yang dipilih aku dengan yang lainnya berbeda. Tetapi perbedaan ini menjadi sesuatu yang sangat membebani diriku. Jalan yang aku pilih adalah menghafal Al-Quran. Sedangkan jalan yang lainnya adalah bekerja giat kemudian memberikan hasil jerih payahnya kepada orang tuanya. Tujuan jalan kami sebenarnya sama...”
anak itu mengatur nafas, kemudian melanjutkan kembali dengan suara yang mulai terisak-isak..
“Aku ingin memberi seperti kakak-kakaku, tapi aku belum mampu hari ini. Waktu ini. Akan tetapi aku yakin bahwa kelak suatu nanti, ibuku akan menyesal dan menyadari bahwa kebahagiaan itu berada dalam jerih payahku.”
“ Maka aku akan megatakan kepada Ibuku, ‘ Ummi, mungkin aku tidak bisa memberi seperti apa yang pernah diberi oleh yang lainnya. Tapi, demi Allah aku akan memberi Ummi kebahagiaan yang tida pernah terpikirkan, kebahagiaan yang tidak bisa terukur oleh ukuran duniawi. Kebahagian yangg jikalau berkumpul ummat ini semuanya, maka mereka akan berebut ingin mendapatkan kebahagiaan itu.”
“Ummi akan di istimewakan nanti di hari kiamat, ketika hiruk pikuk kengerian hari kiamat merajalela. Ketika yang lainnya sibuk dengan aibnya masing-masing. Ketika teriakan orang-orang yang menyesal dan ketakutan ia akan dijebloskan kedalam api neraka...Ummi dan Abi malah di spesialkan oleh Allah, di pakaikan pakaian yang paling Indah dan diduduki di sebuah kursi yang Allah telah pesiapkan untuknnya.”
Alangkah bahagianya mereka berdua. Sempurna sekali kebahagiaanya ketika keduanya diberikan sebuah mahkota yang lebih terang daripada matahari yang ada di Bumi. Ketika kenikmatan dan kebahagian yang tiada taranya, keduanya bertanya tentang kenapa mereka diistimewakan,
Lalu, Allah menjawab, “ Karena anakmu yang membaca Al-Quran, menghafal dan mengamalkannya. Karena anakmu itulah. Inilah kebahagian yang sesungguhnya.!!!”

Jika kemudian seperti itu, siapakah yang paling bangga dengan anak seperti itu, yang menyelamatkan dari huru- hara hari kiamat dan kengerian dari pembalasan Allah nanti???
Maka, orang tuanya itu seharusnya bangga dengan itu semua. Bahkan kebahagiaan itu tidak pernah tergantingkan oleh apapun.
Tetapi sekali lagi, adakah mereka tersadar???
Teruntuk anak yang memilih akhirat itu, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu. Nanti kita akan menyaksikan bersama kenyataan yang sejati ini. Jika tidak di dunia ini, maka kita akan menyaksikan di Akhirat Insya Allah...
Dari Umamh Al-Bahili ra; dia berkata,” Saya mendengar rasulullah SAW bersabda:
Bacalah selalu Al-Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi orang yang selalu membacanya.” (H.R Bukhari Muslim)/

Dan dari Mu’adz bin anas r.a, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa yng membaca Al-Quran lalu mengamalkannya, maka Allah akan memakaikan kepada orang tuanya pada hari kiamat mahkota yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari di dunia. Maka, bagaimana menurut kalian ganjaran orang yang mengamalkannya?” (H.R. Abu Dawud)

Segala Puji Bagi Allah, Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW.


 

TUNDUK KEPADA HAWA NAFSU...

TUNDUK KEPADA HAWA NAFSU...
Berapa banyak orang yang terlena dengan nafsu? Berapa banyak pula orang yang tersesat gara-gara hawa nafsu?
Kitapun hari ini, menyaksikan hawa nafsu merusak akal manusia. Mengalahkan dan mengotori akal mereka. Maka, setelah aakal berhasil dikuasai, maka hatipun akan menjadi sasarannya. Bila ia benar-benar akan menguasai hati, maka hati-hatilah terhadap perasaan hati/ sanubari. Karena sungguh ia sudah terkuasai, sudah terkotori dan fitrah itu hilang. Berhati-hatilah jika menanyakan sesuatu kepada hati, karena kita tidak mengetahui apakah fitrah itu masih ada ataupun sudah lenyap.
Seseorang teman keluaran dari pesantren tradisional kembali ke kampung halamannya. Ia telah mengahabiskan selama 7 tahun berada disana. Berkutat di dalam ilmu yang ia pelajari. Lalu, terpandanglah ia di desanya. Walaupun masih muda, banyak orang yang menyebutnya ‘Kiyai’ muda. Tetapi ada yang mengganjal di hati saya, setelah lama berinteraksi dengannya, saya selalu mendapati hal-hal yang seharusnya ia jauhi. Bukan hanya dia, tapi seseorang yang mengaku muslim.
“Kenapa banyak yang mengaku muslim, punya pengetahuan di bidang agama tetapi mereka banyak hal-hal yang di langgar, apalagi ini masalah serius. Misalkan saja, suka berkata yang jorok, tidak sopan, bahkan berbicara yang orang awampun tidak pantas apalagi seseorang yang dijadikan panutan.”
Maka, iapun menjawab dengan sangat enteng,
“Ya, memang kebanyakan orang seperti itu. Karena setiap orang pasti mempunyai kesalahan. Walaupun orang panutan. Yang penting ibadahnya getol.!
Titik...
Ya Rabb, manusia macam apakah ini? Boleh kebanyakan orang seperti ini, karena memang saya saja yang tidak mengetahui???

Semuanya terjadi sesuai kehendaknya. Karena yang menguasai mereka adalah hawa nafsu itu sendiri. Karena ia tidak mungkin dipisahkan dengan kita. Tetapi ia sangat berbahaya. Jika kita tidak mengusainya, bersiap-sipalah untuk menjadi budaknya.

Kuasailah hawa nafsu, maka engkau akan sukses. Ia selalu mengajak kepada suatu kondisi yang dimana kita merasa nyaman, malas-malasan, senang kepada kenikamatan dan selalu tuidak ingin ada sesuatu yang memperbudaknya. Akan tetapi, di jiwa seorang muslim yang bersungguh-sungguh, hawa nafsu ini akan di kalahkan oleh aturan yang dijadikan prinsip seorang muslim. Prinsip yang tanpanyalah kita tidak berarti apa-apa. Al-Quran dan hadist prinsip itu.
Bahkan, perhatikanlah sabda Rasululloh ini,
Dari Abu Muhammad, Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda : “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah aku sampaikan”. (Hadits hasan shahih dalam kitab Al Hujjah)
Jika engkau mau, sungguh hawa nafsu itu akan tunduk. Jika engkau tidak mau, maka hawa nafsu itu tidak akan pernah tunduk kepada siapapun.
 

Ada banyak orang yang terluka disini

Ada banyak orang yang terluka disini.
Terluka,,,terluka,,,terluka,,,. Banyak yang terluka disini. Disekitar kita. Bahkan mungkin saja orang yang terdekat dengan anda pun terluka. Karena kita tidak perlu mencari psikiater untuk menemukan orang-orang yang terluka ini. Karena itu pula, akan menjadi banyak orang lain yang akan terluka oleh yang terluka. Akan banyak orang yang tersakiti. Sejatinya, orang teluka itu mempunyai watak yang amat berperasaan, ‘membuat orang lainpun terluka!’.
Pada abad ke -19, Filsuf Arthur Schopenhauer mengilustrasikan manusia dengan landak yang berkerumun pada malam dingin yang menyakitkan:
“Semakin dingin diluar, semakin kita berkerumun untuk mencari kehangatn; namun semakin dekat kita satu sama lain, semakin kita menyakiti satu sama lain dengan duri panjang kita yang tajam. Dan, pada malam dingin yang sepi di bumi pada akhirnya kita mulai hanyut terpisah dan berjalan sendiri-sendiri serta membeku sampai mati dalam kensunyian kita.”
Memang seperti itulah kenyataannya. Orang yang terluka seringkali selalu membuat yang lainnya terluka. Tak ayal, jika kita dekat dengan orang yang terluka, kita akan merasakan kita terluka oleh mereka. Biasanya berjenis dan tipe yang sama. Melancarkan serangan seperti orang lain yang menyerangnya. Ini semacam ‘supaya orang lain merasakan penderitaan seperti kita’ alasan mereka seperti itu.
Saya mempunyai seorang teman. Dia berubah drastis sejak patah hatinya dengan seseorang yang begitu ia cintai. Jangankan ibadahnya, sifat-sifatnyapun berubah ke arah negatif. Itu disebabakn oleh wanita yang begitu ia cintai ternyata tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Kemudian wanita itu pergi jauh ke luar negeri untuk mengabdi di Rumah Sakit. Saya rasa habislah kisah itu, ternyata ia masih panjang. Teman saya begitu terpukul, dan ia terluka. Hingga akhirnya teman saja berhubungan tidak sehat dan berniat lain dengan orang lain. Akhirnya justru ia telah melukai wanita-wanita lain dengan memainkan perasaanya. Modus rayuan, mengajak menikahpun ia lakukan. Dan begitulah hati seorang wanita. Ia mudah termakan oleh rayuannya. Ketika wanita-wanita itu termakan dan percaya, saat itulah ia maki-maki wanita itu, menyebutkan kekurangannya di depannya dan akhirnya teman saya pergi meninggalkan wanita itu. Wanita itu terluka, sakit hatinya. Hingga antara mereka menyisakan benci yang sangat mendalam. Bahkan ada diantara mereka yang taruma dekat dengan seorang laki-laki sampai sekarang.
Awalnya, saya tidak habis pikir kenapa ia melakukan seperti itu kepada wanita-wanita yang dekat dengan dia. Tetapi setelah saya membaca buku “Winning with Peple” karya John Maxwell, saya baru mengerti kenapa seperti itu. Jawabanya sangat sederhana “KARENA IA TERLUKA”.
Ia terluka oleh wanita yang ia cintainya. Ketika ia tidak mendapat cintanya, lukaknya menganga. Dan ia ingin agar orang lain merasakannya pula. Sebenarnya saya mengetahui ketika ia melukai wanita-wanita lain, ia menjadi sangat terluka lagi. Ia mengetahui bahwa ia salah. Namun, ada kekuatan yang selalu mendorong ia harus melakukannya. Ia haus dengan itu, yang akhirnya ia terkalahkan oleh kekuatan itu.


Jika terluka hati kita, niscaya badan kita pun akan terluka. Bukan seorang muslim yang ia tidak merasa risih dengan keterlukaanya melukai orang lain.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ya Allah barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku lalu menyusahkan mereka maka berilah kesusahan padanya." Riwayat Muslim
Jika kita merasa bahwa kita tersakiti dan merasa ingin menyakiti orang lain lagi karena ingin menyebarkan perasaan itu, pertanda bahwa kita belum memahami takdir dan ketetapan Allah. Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya, justru hambanya sendiri yang mendzalimi dirinya sendiri. Tidakkah kita tahu bahwa Allah menyiapkan yang terbaik bagi kita? Ya, kita mengetahui. Tetapi kita sadar bahwa apa yang terjadi pada kita pada akhirnya berujung pada kebaikan, walaupun terasa pahit oleh kita. Walaupun terasa berat oleh kita.
Ketika sakit, tidakkah kita harus minum obat yang pahit demi kesembuhan kita nantinya??? Jika kita tahu, kenapa engkau tidak begitu yakin terhadap keteteapn Allah ini???
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Albaqarah 216).
Dan sekali lagi, itulah kelemahan kita. Dan saking Allah mencintai kita, Allah menyiapkan ujian-ujiannya. Dan ujian yang diberikan oleh-Nya berpusar ke arah sana, di kelemahan kita. Kenapa disana? Allah ingin, supaya kelemahan kita menjadi kuat!
Indah sekali ucapan Ust Rahmat Abdulloh dalam salah satu memoar dakwahnya,
“Allah akan menguji di titik terlemah antum. Sampai Allah mengetahui bahwa antum sudah menjadi kuat.”
Berusahalah, bermujahadahlah, selalu husnudzan kepada-Nya. Minta maaflah kepada orang-orang yang telah disakiti dan beristighfarlah..
Setelah itu, Allah melihat pekerjaan itu dan menyiapkan sesuatu yang lebih baik sebagai penggantinya.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger