Jangan begitu Ummi..

Ada banyak orang tua yang tidak pernah mengikuti psikologi seorang anaknya. Banyak pula yang memahami bahwa kebahagiaan itu terletak di materi/keuangan ataupun jabatan yang bergengsi.
“ kerja dimana?” tanya ibu itu.
“ Di Bank Syariah Mandiri.” Jawab pemuda itu.
“ Tadinya, anak saya mau kuliahkan di jurusan akuntansi. Tapi sayang, di ga mau. Malahan dia berani mengambil keputusan untuk belajar ke Lembaga Tahfidz untuk menghafal Al-Qur’an. Ya, mau gimana lagi, itu kan keinginan anak saya,,”Ibu itu menjelaskan penyesalannya.”

Renyuh hati saya, sedih dan kecewa dengan sikap seorang Ibu itu. Di dalamnya, ada semacam teriakan yang menandakan bahwa Ibu itu orang awam. Tapi, sekali lagi saya katakan bahwa keluarga Ibu itu orang yang terpandang cukup religius. Lalu, kenapa Ibu itu bersikap seperti itu?
Seseorang, siapapun orangnya, bahkan walaupun dari komunitas agamapun tidak serta merta selalu mendukung bagiannya untuk melakukan sesuatu. Ibu itu dengan jelas memberikan pemahaman yang secara tidak langsung kepada kita bahwa kebahagiaan itu diukur dari apakah kuliahnya selesai, apakah dia mendapat pekerjaan dan apakah pekerjaannya itu bergengsi. Ibu itu tidak berpikir tentang kenyakinan tentang kebahagiaan bersama keimanan. Tidak memahami bahwa ketenangan itu akan ada dan tidak pernah habis sampai kita bertemu di Hari Akhir.
Lalu, apakah Ibu itu tidak mengetahui bahwa harta itu akan lenyap. Kegantengan itu akan pudar, dan jabatan itu akan lengser sedangkan Ilmu itu tidak akan pernah lenyap? Apakah tidak mengetahui bahwa banyak sekali orang yang mempunyai kondisi yang sesuai dengan harapan Ibu itu malah kecewa dan sedih karena mereka terpahami bahwa semuanya itu tidak berarti apa-apa ketika berhadapan dengan Ilmu agama, apalagi tentang Tahfidz Al-Quran? Apakah ibu itu mengetahui bahwa materi yang ia dapatkan dari anaknya itu hanya sementara, sementara do’a anak yang Sholeh itu akan terus tetap mengalir walaupun berbeda dunia? Apakah materi itu akan bisa menyelamatkan dari siksa yang Allah akan timpakan kepada orang dzalim?
Ibu itu tidak mengetahui, walau disampingnya ada tasbih, ada Al-Quran dan selalu tahajud.
“ Ya Umi, Alhamdulillah sekali umi punya anak yang menghafal Al-Quran. Banyak sekali irang yang iri dengan umi karena di karuniai anak yang sholeh seperti itu. Kalau saya boleh memlilih antara kekayaan yang banyak yang diberikan secara rutin dan jabatan yang bergengsi dengan seorang yang sederhana tpi dekat dengan Allah dengan Tahfidz Al-Quran, maka saya pasti memilih yang kedua. Saya tidak akan pernah bingung dan bimbang memilihnya. Karena saya tahu dia akan bermanfaat bukan saja di dunia, tapi di akhirat juga.” Jawaban seorang teman Ibu itu ketika ditanya tentang pembandingan anaknya.
Ibu itu diam saja, tidak bereaksi.
Bagi seorang anak yang lebih memilih untuk menghafal Al-Quran ketika dirinya harus melanjutkan kuliah atau tidak, tetapi ia malah memilih utuk belajar Al-Quran adalah luar biasa menurut saya. Di tinggalkan dunia demi akhirat. Dan satu lagi, ia akan mengangkat dan mempersembahkan jerih payahnya demi orang tuanya.
Anak itu sedih, menitikan air mata ketika Ibunya sendiri merasa tidak sudi jika ia meninggalkan kuliah dan hidup pas-pasan demi menghafal Al-Quran. Ia berteriak di dalam hati, apalagi jika ia dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya yang menurut Ibu itu berhasil. Karena secara rutin mengirim uang untuk Ibunya. Gara-gara seperti itulah ibu itu memberi persepsi tentang kebahagian.
Anak itu dikeheningan malam duduk tafakkur, menahan tetesan air mata. Ia tumpahkan kepada Rabbul Izzati tentang kelemahannya dalam keluarga itu. Ia juga ingin seperti kakak-kakaknya, ia ingin memberi kebahagiaan berupa uang utuk Ibunya. Namun ia belum mampu, karena kini ia lebih menghabiskan waktunya untuk menghafal Al-Quran,
“ Rabb...” begitulah anak itu memulai pengaduaannya.
“Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Aku ingin membahagiakan orang tuaku. Aku ingin bermanfaat bagi keduanya. Saat ini, jalan yang dipilih aku dengan yang lainnya berbeda. Tetapi perbedaan ini menjadi sesuatu yang sangat membebani diriku. Jalan yang aku pilih adalah menghafal Al-Quran. Sedangkan jalan yang lainnya adalah bekerja giat kemudian memberikan hasil jerih payahnya kepada orang tuanya. Tujuan jalan kami sebenarnya sama...”
anak itu mengatur nafas, kemudian melanjutkan kembali dengan suara yang mulai terisak-isak..
“Aku ingin memberi seperti kakak-kakaku, tapi aku belum mampu hari ini. Waktu ini. Akan tetapi aku yakin bahwa kelak suatu nanti, ibuku akan menyesal dan menyadari bahwa kebahagiaan itu berada dalam jerih payahku.”
“ Maka aku akan megatakan kepada Ibuku, ‘ Ummi, mungkin aku tidak bisa memberi seperti apa yang pernah diberi oleh yang lainnya. Tapi, demi Allah aku akan memberi Ummi kebahagiaan yang tida pernah terpikirkan, kebahagiaan yang tidak bisa terukur oleh ukuran duniawi. Kebahagian yangg jikalau berkumpul ummat ini semuanya, maka mereka akan berebut ingin mendapatkan kebahagiaan itu.”
“Ummi akan di istimewakan nanti di hari kiamat, ketika hiruk pikuk kengerian hari kiamat merajalela. Ketika yang lainnya sibuk dengan aibnya masing-masing. Ketika teriakan orang-orang yang menyesal dan ketakutan ia akan dijebloskan kedalam api neraka...Ummi dan Abi malah di spesialkan oleh Allah, di pakaikan pakaian yang paling Indah dan diduduki di sebuah kursi yang Allah telah pesiapkan untuknnya.”
Alangkah bahagianya mereka berdua. Sempurna sekali kebahagiaanya ketika keduanya diberikan sebuah mahkota yang lebih terang daripada matahari yang ada di Bumi. Ketika kenikmatan dan kebahagian yang tiada taranya, keduanya bertanya tentang kenapa mereka diistimewakan,
Lalu, Allah menjawab, “ Karena anakmu yang membaca Al-Quran, menghafal dan mengamalkannya. Karena anakmu itulah. Inilah kebahagian yang sesungguhnya.!!!”

Jika kemudian seperti itu, siapakah yang paling bangga dengan anak seperti itu, yang menyelamatkan dari huru- hara hari kiamat dan kengerian dari pembalasan Allah nanti???
Maka, orang tuanya itu seharusnya bangga dengan itu semua. Bahkan kebahagiaan itu tidak pernah tergantingkan oleh apapun.
Tetapi sekali lagi, adakah mereka tersadar???
Teruntuk anak yang memilih akhirat itu, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu. Nanti kita akan menyaksikan bersama kenyataan yang sejati ini. Jika tidak di dunia ini, maka kita akan menyaksikan di Akhirat Insya Allah...
Dari Umamh Al-Bahili ra; dia berkata,” Saya mendengar rasulullah SAW bersabda:
Bacalah selalu Al-Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat bagi orang yang selalu membacanya.” (H.R Bukhari Muslim)/

Dan dari Mu’adz bin anas r.a, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa yng membaca Al-Quran lalu mengamalkannya, maka Allah akan memakaikan kepada orang tuanya pada hari kiamat mahkota yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari di dunia. Maka, bagaimana menurut kalian ganjaran orang yang mengamalkannya?” (H.R. Abu Dawud)

Segala Puji Bagi Allah, Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW.


Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger