Lahirnya sikap

Terjebak dalam sikap seringkali dapat meruntuhkan image/citra yang kita rangkai pada hari masa lalu itu. Membuat pola yang aneh, mengacaukan, menindas bahkan melenyaokannya. Sikap yang diembel-embelkan dan dihiasi dengan indah, kini ketakutan. Bahkan sekedar mendongkakan kepala saja pun terasa enggan dan berat.
Sikap itu selalu muncul ketika hilangnya prinsip, ketika hilang ruh-ruh yang semestinya selalu mengalir di denyut-denyut nadi kehidupan. Sebuah sikap yang benar-benar menjelaskan makna dibalik sikap itu.
Karena sikap itu muncul setelah pertarungan pemikiran-pemikiran yang selalu melintas diantara gumulan pikiran positif dan negatif. Setelah terkumpul, menganalisa, hingga berakhir dengan sikap yang tercermin dalam suatu perbuatan sebagai hasil dari akhir pertarungan itu.
Dalam pertarungan itu, kejernihan dan kekotoran selalu saja membuat setiap orang khawatir. Sebab, setiap orang mempunyai naluri yang amat tajam terhadap fitrah. Fitrah semua orang adalah berbuat baik. Akan tetapi, jika disandarkan kepada fitrah itu, kenapa masih ada bahkan banyak yang dikalahkan oleh kekotoran itu. Bukankah kejernihan kebenaran itu lebih dekat dengan fitrah manusia?
Allah tidak akan pernah mendzalimi hamba-Nya, namun manusialah sendiri yang mendzaliminya.
Bagaimana mungkin kebenaran akan sampai diterima dihati, menggerakan dan akhirnya melahirkan perbuatan sebagai hasil dari sikap itu, sementara hati kita menutup kedatangannya? Bagaimana mungkin akan bisa masuk, sedangkan pintu hati kita terkunci dan kita tidak mau membukannya? Seperti itulah, sungguh sebenarnya mereka sangat dekat dengan kejernihan, namun mereka terhalang oleh ‘sekat’ yang merasa jauh, padahal mereka sangat dekat. Bahakan nyaris sekali sangat dekat.
Diantara unsur pembentuk ‘sekat’ itu adalah kesombongan, egois dan keras kepala. Kesombongan tentu saja akan memacu orang yang memiliki sifat itu akan merendahkan orang lain, menganggap bahwa dia sendiri yang merasa paling benar, yang akhirnya sesuatu yang keluar dari lidah orang lain, tentu ia tidak akan diterima. Akibatnya pelajaran-pelajaran atau hikmah-hikmah yang terjadi tidak membuat mereka sadar tentang kenyataan itu. Sedangkan keegoisan dan keras kepala hanya akan membentuk seseorang menjadi jauh dari kebenaran, bahkan kebenaran itu enggan mendekati mereka.
Hidayah itu akan datang ketika hati siap menerimanya. Namun jika hati tidak siap menerimaya, walaupun mereka dihantam berjuta-juta kebenaran., tidak menghasilkan apa-apa.
Alangkah tercengangnya hati itu, gembira dengan keadaannya, tidak terpengaruh oleh tarikan jebakan syahwat, menembus asa yang paling tinggi. Suatu sikap yang paling tinggi, paling indah dan paling mulia.
Maka adakah sikap yang terpuji melebihi sikap itu???
Itulah sikap para pengemban risalah da’wah, pewaris nabi, dan mereka sikap mereka yang hidup didalamnya.
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger