Dialog tentang Nasehat

Seorang teman termenung di bangku suatu taman. Ia tertunduk, menghela nafas yang dalam. Tubuhnya kini mulai bersandar di sandaran bangku itu. Ia kelihatan tidak kuat lagi megkokohkan tubuhnya sendiri. Seolah-seolah ia mempunyai beban yang sangat berat ditanggung dalam kehidupannya. Itu terbukti dengan menghembuskan nafasnya berkali-kali dengan mata terpejam. Ingin memasrahkan segala masalah itu pada Allah, Tuhan dia.
“Akhi, saya tidak kuat lagi menaggung beban ini. mengapa teman-teman saya yang notabennya seorang Aktivis Da’wah sering tidak paham dengan nasehat agama itu. Kenapa mereka malah mencoba menyerang setelah mereka diberi nasehat. Aib-aib dan kesalahan yang memberi nasehat itu malah dikeluarkan. Terus terang, saya jadi merasa enggan memberi nasehat itu kepadanya. Mungkin saya tidak pantas memberi nasehat walaupun hanya sedikit saja. Saya banyak aib dan dosa.”
Begitu keluh sahabat saya satu ini. Sungguh pernyataannya tidak sesuai dengan faktanya. Saya lihat dia orang-orang yang terus mencoba memperbaiki diri. Segenap kekuatan menjauhi dari perbuatan maksiat. Selalu mencoba mendekati Allah dengan Tahajud dan Al-Qurannya. Iapun sangat sederhana, tidak neko-neko. Ia sangat ingin menjaga diri dari perbuatan yang dibenci Allah.
Begitu iba mendengarnya, kemudian saya mengatakan,
“Akhi, memang begitulah efek dari sebuah nasehat itu. Nasehat itu seperti kita menyulam/menjahit dengan jarum. Dalam Fathul Bari disebutkan bahwa nasehat adalah perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya. Ia bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga kembali layak dipakai. Pakaian yang mereka pakai sudah robek. Kita tidak ingin melihat teman kita memakai pakaian robek kemana-mana. Tapi, kadang kala ketika kita memberitahu mereka tentang ihwal pakaiannya, banyak juga yang tersinggung awalnya. Karena mereka langsung menyikapi perkataan temannya tanpa melihat dulu apakah bajunya robek. Jika saja mereka berhenti sejenak kemudian meneliti keadaan baju itu, maka dipastikan mereka akan berterimakasih kepada antum. Karena jika tidak memberitahunya, maka ia akan malu.”
Saya menghela nafas dengan lembut, mencoba mengeluarkan nada perkataan sebagus mungkin,
“ Akan tetapi, jika antum ingin memberi nasehat; antum harus tahu resikonya.”
“Seperti apakah resiko itu wahai teman?” teman saya balik bertanya.
“ Ya, kayak tadi. Jika antum tidak berusaha menutupi aib-aib antum didepannya, maka antum akan diserang bertubi-tubi. Bukannya mendapat kebahagiaan karena telah memberi nasehati kepada temannya itu, malah antuk akan disakiti dengan hunusan pedang ‘cermin aib’ antum. Dan itu akan lebih menyakitkan untuk diri pemberi nasehat itu. Bagaimana mungkin ia tidak tesakiti jikalau yang datang aib-aibnya. Dan....” saya berhenti sejenak dan menerawang.
“ jika antum tidak kuat dengan itu semua, antum akan trauma dengan nasehat itu. Antum akan berhenti sebagai pemberi nasehati. Dan itulah yang menyebabkan keguncangan Agama yang mulai retak. Akibatnya, tidak ada yang mau saling menegur, dan terjadilah malapetaka yang dahsyat bagi para aktivis Da’wah.”
Saya pun melanjutkan...
“Antum tahu apakah hukumnya tentang nasehat itu?” Tanya saya kepada teman saya itu.
“ Iya saya mengetahui itu. Akan tetapi saya lupa dengan jelasnya. Bisa antum jelaskan?” dia malah balik bertanya,
“ Sebenarnya banyak sekali bahkan tak terhitung ulama-ulama menjelaskan ini. saya kutip saka penjelasan dari Imam Nawawi yang menukil juga perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).”
“Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).”
“Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).”
Sejenak kami diam. Seolah-olah kami merenungi perjalanan nasehat kami dengan sekilas.
Teman saya kemudian memecah kesunyian itu dan mulai bertanya lagi,
“ Ya Rabb, begitu indahnya nasehat itu. Indahnya itu terlalu melupakan luka-luka yang mereka serang. Berarti kita tidak boleh berhenti memberi nasehat ya. Terus memberi nasehat walau resikonya terlalu banyak. Dan kita juga harus mulai menjaga dan membina kedekatan kita kepad Allah, bertaubat dan berusaha menghindari kemaksiatan-kemaksiatan.” Perkataannya yang berkobar semangat.
“ Ahsanta, betul sekali akhi. Yuk kita sama-sama berjuang dalam hal ini.” saya membenarkan perkataannya.
Saya pun berhenti dan kami berdua menghela nafas yang panjang. Angin yang sepoi-sepoi pun ikut meneduhkan suasana hati kami.
Kami berpelukan dengan hangat. Rasa pertemanan dengannya semakin mengikat dan mengakar. Maka, saya dengan lirih berdo’a,
“ Ya Rabb, ikatkanlah kami dengan Rabithah-Mu. Sungguh kami akan berusaha merajut impian dan cita-cita bagi Da’wah ini dengan ukhuwah yang sebenar-sebenarnya ukhuwah. Ukhuwah saling nasehat dan menasehati. Tutupilah Aib-aib kami dan jadikanlah kami orang-orang yang tak pernah berputus asa dalam memberi nasehati ini.”

Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger