Kendala keangkuhan



Datang kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah syarat untuk menyatu dengan teks. Tapi itu juga sumber masalah manusia dengan teks. Karena sebagian besar mereka datang untuk mendebat teks. Mereka mempertanyakan keabsahan teks, atau mempertanyakan kebenaran makna teks. Itulah perdebatan antara Rasulullah SAW dengan manusia di zamannya. Itu pula yang selamanya akan menjadi perdebatan antara manusia dengan Tuhan.

Mempertanyakan keabsahan teks adalah sumber permasalahan yang melahirkan kekufuran dan kemusyrikan. Sementara mempertanyakan kebenaran makna teks adalah akar problem kaum munafiqin. Manusia cenderung mendatangi teks dengan angkuh sembari mengajukan dua pertanyaan. Pertama, benarkah ini teks dari Tuhan? Kedua, atas dasar apa seseorang bisa mengklaim diri sebagai pembawa teks dari Tuhan? Kedua pertanyaan inilah yang selamanya merintangi sebagian besar manusia untuk melihat cahaya kebenaran. Mereka mengingkari keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks.

Itulah, misalnya, yang kita saksikan dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Pada tahun kesepuluh dari masa nubuwah itu, perdebatan dengan teks mencapai puncaknya. Pengingkaran pada keabsahan teks dan pembawa teks menemukan momentumnya pada peristiwa yang sama sekali tidak masuk akal dalam ukuran mereka. Keabsahan teks tidak dapat dipisahkan dari keabsahan pembawa teks. Itu sebabnya jawaban Abu Bakar menyatukan keduanya ketka mengatakan: "Saya percaya kepada Muhammad (sebagai pembawa teks), maka saya percaya kepada semua yang ia katakan. Saya percaya bahwa ia membawa teks dari langit, maka saya percaya pada peristiwa yang ia ceritakan".

Jika dengan rahmat Allah manusia berhasil melewati rintangan ini, lalu mereka bermigrasi dari kekufuran menuju keimanan, maka keangkuhan intelektual itu masih menyisakan satu rintangan besar bagi mereka. Yaitu kecenderungan untuk mempertanyakan makna teks. Ini terkait dengan otoritas intelektual untuk menafsirkan teks. Misalnya debat antara Nabi Musa dengan Bani Israel tentang sapi. Keangkuhan intelektual inilah yang kelak menjadi akar dari kemunafikan seseorang setalah ia beriman. Mempertanyakan keabsahan tafsir atas teks sebenarnya hanya merupakan tipuan jiwa untuk membenarkan mengapa mereka tidak harus melaksanakan teks itu.

Sikap jiwa yang begitu itulah yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 54: "Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah".[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 234]
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger