Perasaan takut itu menjelma menjadi sosok yang selalu mengundang selera keputusasaan, menghancurkan sendi-sendi kehidupan yang telah dibangun demikian megahnya, dan selalu membuat decak kagum kebejatan moral yang terusung hari-hari itu. Ketakutan itupun membuat jiwa-jiwa manusia itu menunggu dengan ketidak pastian, panca inderapun menyurutkan tekad yang telah ia bina sebagaimana mestinya, dan keganasan kehidupan terjadi dengan ketidakseimbangan hati nurani. Jiwa-jiwa itupun meringkih dengan sangat ketika ketakutan itu mulai menghancurkan bayangan-bayangan sejati, dan akhirnya ia membuat manusia ataupun sebagiannya menjelma menjadi manuasia-manusia mati....
Keberanian yang gagah, semangat patriot begitu men’Shibghah’ jiwa yang dulu lemah, membuat ‘sang’ itu begitu kuat, begitu semangat, begitu luar biasa dalam melangkah, begitu kaki-kaki yang penuh debu itu menempel dengan lekat dengan kuat, begitu ‘darah’ segar membasahi kulitnya. Mereka mempunyai tujuan yang suci, tetapi tujuan suci itu sangat jauh, sangat berat dan penuh ona dan duri. Kesabaran yang tangguh selalu menjadi proses bertahannya dalam pencapaian tujuan itu. Ia terjatuh, kemudian bangkit lagi..jatuh lagi, bangkit lagi. Sebenarnya kejatuhan pertama, ia telah rapuh tapi ada unsur pemaksaan yang luar biasa yang bersedia memberikan kekuatan untuk menegakkan kaki-kaki dan membukakan mata itu...
Membangun bersama ‘sekeping-sekeping hati’ dengan ukhuwah cinta, bergerak dengan kebersamaan membuat raga ini menjadi ringan dalam melangkah. Ketika ada sayatan luka dari diri kita, mereka membangun dan menutupi sayatan itu, ketika air mata ini membutuhkan tangis, mereka mencegahnya, dan sebagianya. Tapi apakah bisa berjuang, sedang’ sekeping-sekeping hati ‘ itu mulai luntur? Apakah kita masih bisa berjuang ketika tidak ada yang menutup sayatan itu, tidak ada yang menghentikan laju gerak air mata itu? Keraguan akan pertanyaan itu selalu begitu muncul ketika ‘sekeping-sekeping hati’ itu tumbang dan akhirnya perasaan itu terbingkai dengan urutan menjadi ketakutan.
Lalu perasaan itu mulai terus hinggap. Terusir lalu hinggap lagi. Hinggap...terusir lagi. Mereka hinggap dengan membawa segudang alasan yang benar-benar tidak dapat ditolak kenyataannya. Tidak putus asa, akhirnya jiwa itu melemah dan menyerah dengan kedatangan ‘ketakutan itu’. Hingga akhirnya ketakutan itu menjadi faktor utama yang menyebabkan kelemahan, hilang semangat dan menyurutkan langkah yang selama ini ia bangun. Tetapi kemudian ketakutan itu malah berbalik menyerang dahsyat. Berharap melindungi satu jiwa, ternyata malah mengorbankan jiwa-jiwa yang lain. Melindungi satu orang, tapi mengorbankan orang-orang lain yang jumlahnya lebih banyak, bahkan banyak sekali.
Hari-hari tidak ada gerakan, malah tangisan kesedihan melingkupi awan-awan kenangan itu, kenangan bersama ‘sekeping-sekeping hati’ itu. Hari-hari yang dimenangkan oleh kelemahan, keputusasaan dan tekad yang mulai luntur. Sebenarnya ‘sang’ itu dinantikan, diharapkan, dirindukan, dijagokan, tetapi sekeping-sekeping hati itu malu untuk berkata, mereka malu untuk sekedar menanyakan bahkan mereka pun enggan untuk bertanya, walau mereka sungguh merindukan semuanya itu. Lemah dan butuh kekuatan dan semangat. Akhirnya seorang jiwa datang kepadan ‘sang’ dan mengatakan semaunya tentang keinginan sekeping-sekeping hati lain, perasaan mereka tertuntaskan sudah ia lemparkan kepada sang itu.
....
Pagi itu, suasana yang aneh menyapa, mengagetkan sekeping-sekeping hati lain itu. Kelemahan dan kesedihan mereka kini berubah menjadi kekuatan yang berpadu dalam suasana cinta itu. ‘Sang’ itu datang dengan penuh kekhusuan, berjalan dengan tegap dan fokus. Sungguh ‘sang’ itu berubah, kemudian perkataannya mengharukan,” Dulu karena ketakutan, aku lemah. Karenanya aku sibuk memperhatikan tumbangnya sekeping-sekeping hati yang sangat saya cintai, dan karenanya aku tidak ingin melihat sekeping-sekeping hati yang tersisa ini kembali tumbang. Oleh karena itu, aku tidak bergerak karena ketakutan itu. Tetapi saya sadar ketakutan itu malah mengorbankan yang banyak dengan menjaga yang sedikit. Aku terlalu egois dalam hal ini tanpa melihat kalian mencintaiku. Aku sadar perjalanan ini begitu jauh, keharusan pengorbanan selalu terjadi, bahkan kecintaan terhadap sekeping-sekeping hati itu seharusnya tidak membuat kita tidak bergerak karena kita mempunyai tujuan yang amat mulia, amat besar. Mari kita teruskan perjuangan ini,,,,!!!”
Deraian air mata ‘sang’ atas kesalahanya kali ini membuat sekeping-sejeping hati itu mengundang rasa haru dan isak tangis. Membuat optimisme kembali berkibar dan full power, kemudian Gema takbir mengudara di seluruh area-area perjuangan itu, samapi membuat burung-burung gagak itu ketakutan denga simbol keimanan yang dahsyat itu....

Saudaraku sekeping-sekeping hati...
ketakutan memang perlu, tapi jika ia berdiri sendiri, ia akan menjadi sebab hancurnya peradaban itu. Ketakutan itu seperti membutuhkan pasangan. Harapan,,ya..harapan adalah pasangannya. Harapan dan ketakutan menjadi energi yang luarbiasa. Jika kita belum memahaminya, pahamilah... kelak akan mengetahui betapa hal itu menjadi sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini...!!!


Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger