standar akhirat vs standar dunia


Ketika Rasulullah SAW duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau bertanya kepada mereka,”Tahukah kalian, siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab,” Menurut kami orang yang bangkrut ialah orang yang tidak mempunyai uang dan asset lain.” Kemudian Rasulullah SAW meluruskan pemahaman para sahabat dengan bersabda,” orang yang bangkrut dikalangan umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Ia juga membawa dosa pernah memcaci si A, menuduh si B berzina, makan harta si C, menumpahkan darah di D, dan memukul si E. lalu si A,B,C, dan seterusnya diberi kebaikannya. Jika kebaikannya habis, sementara hutangnya belum lunas, maka dosa orang-orang yang pernah ia dzalimi diambil, lalu dilemparkan kepadanya, lantas ia dijebloskan ke neraka.”
Hadist yang diriwayatkan Muslim itu memberi pelajaran yang amat berharga. Meluruskan persepsi, memantapkan keyakinan dalam diri tentang menetapkan ukuran atau standar dalam menilai sesuatu. Betapa banyak orang yang salah bersikap, salah berbuat karena jelas asas penilaian yang salah selalu m,enguasai hati mereka. Dengan serta merta mereka menyakini bahwa ini datangnya dari hati, ini atas hati nurani saya!!! Begitu jahilnya, begitu sempit keilmuannya dan begitu dasar keimananya. Padahal Ibnu Atha pernah berkata, Hati-hatilah dengan hati nurani, karena kita tidak tahu apakah ianya dikuasai syetan ataupun tidak.” Memang benar hati nurani bersumber kebenaran, tapi apakah kita sudah tahu apakah hati yang kita miliki sekarang terkuasai oleh syetan atau tidak? Jika ternyata hati kita terkuasai, tidak syak lagi penilaian itu atas dasar perintah syetan, bukan Allah sebagaimana hati yang terbebas dari kuasa syetan karena yang menguasainya adalah Allah.
Keberuntungan, kekayaan, kebahagian, ketenangan dan kedamain adalah sesuatu yang harus dikejar. Karena itu keniscayaan dalam hidup. Semua orangpun, baik, jahat, beragama ataupun tidak pasti mengejar itu. Tetapi ketika mereka ingin mengejarnya, perhiasan dunia begitu sangat menarik hatinya, nafsu syahwatnya kian membesar dengan hembusan bisikan syetan. Semakin lama semakin lupa akan tujuan sebenarnya, yaitu mengejar keniscayaan itu. Tetapi syetan begitu pintar, syetan menyamarkan bahwa tujuan itu ada disini, sudah didapatkan, inilah tujuan itu. Padahal itu semua hanya sihirnya syetan supaya mereka lupa dengan tujuan sebenarnya. Kemudian akhirnya gelap hati mereka, mentok perjalannya dan terbuai dengan perhiasan itu. Itulah akibat dari penerapan standar penilaian yang salah, standar yang menyesatkan, standar versi dunia!
Padahal Penetapan standar penilaian begitu agung dan harus kita pahami dan yakini. Kebaikan dan keburukan, keuntungan kdan kerugian, kebahagian dan kesengsaraan tergantung kepada penetapan standar orang itu. Dan sungguh ia hanya bermuara dengan dua jenis; standar dunia dan standar akhirat.
Standar dunia dengan standar akhirat jelas sangat berbeda. Begitu banyak yang menggandrungi dan memakai standar dunia karena manusia fitrahnya menilai sesuatu berdasarkan realitas yang mereka lihat secara nyata. Sedang sedikit sekali yang berstandar akhirat karena standar ini diukur denga hal-hal ghaib yang terkait dengan akhirat, kampung halamanya yang hakiki. Jelas sekali keuntungan versi dunia beda dengan keuntungan versi akhirat. Begitupun dengan kerugiannya, kekalahannya, kemenangannya, batas minimalnya, batas maksimalnya, dll. Padahal yang selamat adalah standar akhirat. Tetapi sedikit yang mengetahui tentang standar itu. Sebab syetan menyembunyikannya. Padahal Rasulullah SAW men-trabiyah para sahabat untuk menerapkan standar akhirat itu
Keuntungan dan kerugianpun adalah contoh nyata perbedaannya. Standar duniapun menyatakan bahwa beruntung sekali orang yang mempunyai uang banyak, dan sangat rugi jika mempunyai uang banyak tetapi malah melepaskannya. Tetapi lihatlah standar akhirat. Shuaib Ar-rumi sahabat yang kaya raya di Makkah, namun ia melepaskannya karena orang Quriasy merampas seluruh assetnya. Kendati demikian Rasulullah SAW bersabda kepadanya saat ia tiba di MAdinah,” Shuhaib beruntung.” (Diriwayatkan Hakim). Lihatlah perbedaannya,,,!!!
Begitupun dengan contoh penilaian tentang kaya dan miskin. Standar duniapun menetapkan bahwa kaya itu adalah yang paling banyak hartanya. Tetapi Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari, “ Kekayaan itu bukan dengan harta yang banyak. Tapi, kekayaan itu adalah kekayaan hati.” Kekayaan hati bisa menyapa yag kaya ataupun yang miskin. Betapa banyak yang mempunyai harta yang melimpah tetapi hatinya tidak kaya, merasa takut kehilangan, tidak nyaman membawa barang mewah, tidak bahagia, dan tidak merasakan ketenangan. Tetapi ada orang yang miskin

yang memiliki ketenangan, kedaimaian, kebahagiaan. Jadi inilah isyaratnya. Yang menentukannya adalah kekayaan hati. Jika hati sudah kaya, itulah kekayaan yang sebenarnya. Ibnu baththal mengomentari hadist ini,” makna hadist ini adalah kekayaan hakiki itu bukan harta yang melimpah ruah, karena banyak yang diberikan oleh Allah kepada makhluknya tapi ia tidak puas dan bekerja mati-matian agar lebih kaya lagi, tanpa peduli darimana ia mendapatkannya. Ia seperti orang yang miskin kerasukan. Kekayaan hati adalah kekayaan hakiki, yaitu orang yang tidak merasa butuh dengan rizki yang ia terima, puas dengannya, dan tidak memburunya dengan mati-matian. Seolah-olah ia kaya.” Subhanallah luar biasa. lihatlah perbedaanya!!!
Bahkan saking jelasnya standar akhirat itu, Ibrahim bin Adam tidak menerima hadiah, kecuali dari orang kaya yang mempunya versi standar akhirat. Ketika ada seseorang yang ingin menghadiahkan jubah kepada beliau, beliau berkata bahwa ia tidak akan menerima hadiah dari orang yang miskin. Dengan geram orang itu berkata,” saya orang kaya”. Ibrahim berkata,” anda punya stok jubah berapa?”. “dua ribu jubah”. Ibrahim berkata,” apakah anda masih ingin punya empat ribau jubah??. Orang itu menjawab,”Ya”. Kemudian Ibrrahim berkata,” kalau begitu anda miskin (karena masih butuh jubah lebih banyak lagi). Saya tidak mau menerima hadiah jubah ini.”
Demikianlah, begitu agung dan penting dari kehidupan kita tentang versi penilaian itu. Perbuatan kita baik buruknya pun diukur dengan standar ini. Jadi, pakailah standar akhirat, jangan standar dunia, supaya tidak tertipu. Orang-orang yang beriman yang telah teruji konsisten keimanan dan ibadahnya ketika berinteraksi dengan dunia dan manusiapun memakai standar akhirat. Salah seorang dari mereka tidak mau menjadi budak standar dunia yang selalu berubah-ubah dan fana. Merekla selalu menggunakan standar akhirat, agar perjalanan hidup mereka “normal” dan tidak menyimpang, hingga tiba di negeri akhirat dengan aman.
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah yang selalu men-tarbiyah- umatnya dengan standar akhirat. Ammin. (Rabu, 8 Sep 2010, dua hari menjelang idul fitri)
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger