Jalan kehidupan saya

Terdampar tak bertepi, kericuhan hati yang tak menetramkan, kekesalan dan kekewaan seringkali menghiasi lembaran –lembaran hari-hariku saat ini. semangat yang dulu pernah berkobar, kini harus berhadapan dengan semangat yang loyo dan tanpa arah. Betapapun kesabaran ini mudah-mudahan masih membekas dalam diri ini, sehingga dengannya keresahan, kerincuhan, kekesalan dan kekecewaan bisa teratasi dengan baik. Mungkinkah hanya sabar yang bisa membungkam itu semua?
Tetapi, apakah saya harus termenung, diam, dan mencoba ‘hanya memelas dada’ melihat keburaman ini? apakah saya harus terdiam pahit melihat kenyataan ini? Sungguh apalah artinya keimanan ini jika hanya bisa melihat dan mendengar dengan nanar dan naas, melihat ketidak sadaran sahabat-sahabat saya yang asyik dengan kesibukannnya masing-masing. Asyik dengan amal-amalnya, asyik berdakwah kesana-kemari, menyebarkan fikrah yang diyakini kebenarannya.
Akan tetapi, adakah mereka mempunyai keimanan yang tidak pernah surut? Adakah mereka merasakan bahwa amal-amal mereka tidak menyentuh masyarakat, sehingga tumpulah apa yang diusahakan untuk mereka? Berarti, ada yang salah pada diri kita. Demi Allah, janganlah kita mengurangi amal-amal umat, karena melihat surutnya amal kita, tetapi bukan karena amal-amal itu melainkan karena diri kita sendiri.
Bagai terjebak dalam lingkaran kelalaian, wilayah ketidaksadaran itu memberhangus jiwa yang selalu sadar. Hingga, ketika mereka sadar, kesadarannya pun hanya sesaat. Pernah mereka ingin mengerutkan dan menelusuri kesadaran itu, tetapi niat mereka tidak pernah rampung, nafas mereka habis ditengah jalan, pikiran ketidak sadaran mereka liar yang dnegan dipenuhi nafsu mereka berontak. Sehingga mereka kembali pulang ke kampung halaman ketidak sadaran itu. lebih senang berada dalam zona aman daripada memaksa diri untuk berhijrah ke zona ketidaknyamanan. Padahal, tidak pernah ada orang-orang yang sukses yang hidupnya hanya berada di zona aman itu. dari dulu, sampai sekarang dan akan datang pun!
Mencoba untuk menyadarkannya, membantu untuk menemukan setiap masalah-masalah yang dihadapi oleh teman-teman adalah komitmen saya. Karena sungguh, ketiadaan teman dalam berjuang sangat melelahkan, sangat membosankan, dan sangat tidak bergairah. Pertemanan adalah keniscayaan. Akan tetapi, bagaimana jika teman yang telah terpilih kemudian menjadi tidak sadar akan kelalaiannya. Kelalalaian yang justru Allah dan Rasul-Nya menghinakannya? Mungkinkah saya akan bisa berjuang, sedang kelalaian dan kesadaran tidak mungkin berada dalam satu tempat dan satu fase waktu. Tidak akan pernah bisa mencapai target-terget yang kita canangkan sedang kita malah dipersulit oleh penyatuan jiwa antara sadar dan kelalaian ini. sungguh. Nanti kita akan menemukan banyak hal yang ganjil tentang amal kita, bahkan kita akan terfokus dengan penyamaan diri kita daripada fokus ke target.
Maka, keteguhan sayapun harus diuji disini. Komitmen akan penyadaran harus saya temukan disini. Tetapi kadangkala saya berhenti ketika memikirkan hal ini. sebuah resiko. Resiko yang sungguh saya tidak bisa bermain logika disini, karena ini adalah hak Allah, dan saya tidak boleh melanggarnya. Resiko itu menggambarkan sebuah tendangan, sebuah cacian dan sebuah penghinaan yang sangat nyata. Tetapi setelah sesaat merenungi pemikiran itu sambil terus mengingati hujjah –hujjah, maka saya simpulkan bahwa saya tidak boleh berhenti untuk itu.
Banyak sekali orang yang sadar karena sesuatu. Ada yang tersadar oleh alam, ada yang tersadar oleh musibah, ada yang tersadar oleh Al-Qur’an dan Hadist bahkan banyak juga ada yang terdasar oleh teman masing-masing.
Tersadar oleh teman itu membutuhkan kekuatan. Kekuatan yang bersumber dari cinta kasih, kebaikan, kerinduan, dan penyatuan jiwa. Tanpa kekuatan itu, ia akan cacat seumur hidupnya. Kekuatan itu kemudian membungkus dari dan jiwanya sehingga kuat dan kebal menghadapi resiko yang akan terjadi. Ia merasakan bahwa saat ini ia fokus dengan teman yang terlalaikan itu, ia menangkis serangan pikiran dirinya sendiri tentang ajakan yang berupa pertanyaan,” lalu, bagaimana dengannmu, kamu akan tersakiti, tersiska, dan hati kamu akan membara dengan tuduhan-tduhan yang mereka lancarkan. Sudahlah, susah untuk menyadarkannya, lebih diam saja dan berdoa saja. Biarlah Allah yang mengurusinya. Karena dengan berdo’a, sungguh kamu sudah berbuat sesuatu dengannya.” Namun, pertanyaan itu saya sangkal, “ Biarlah saya tersakiti, tersiksa dan apapun yang dia tuduhkan atas saya. Biarlah saya menikmati ini. sungguh saya lebih sakit dan kecewa jika ketika kita berjalan, berjuang bersama, namun sejatinya kita bermusuhan. Karena tidak mungkin sadar berteman dengan kelalaian. Adalah lebih membuat menderita jika saya harus menahan getir perasaan yang ingin membuncah ini. Sungguh saya tidak suka untuk mematikan penahanan deraian air mata ini jika tidak tahan. Karena saya mempunyai harapan yang kuat. Yaitu saya merindukan bahwa kelak suatu saat dia menjadi sadar yang kembali menyatu dengan jiwa saya untuk berjuang bersama-sama lagi. Biarlah kapan dia akan tersadar, hari ini atau yang akan datang. Bagiku itu tidak penting. Yang penting mudah-mudahan Allah membukakan hatinya untuk kembali tersadar dan kembali mengasah kapak keimanan dia sendiri. Dan sungguh, saya merindukan itu.”

Dan memang, hujatan, kekesalan, dan kebakaran jenggot dia menampar hatiku. Munculah panas, tidak bergairah, dan muncul pula nafsu yang ingin bergejolak. Biarlah mereka semua muncul, tetapi saya akan coba mengendalikan nafsu itu. nafsu itu sangat berbahaya bagi saya. Sok memvonis, sok lebih baik, sok lebih bersih muncul terus memerangi saya. Tiada habis. Tidak pernah beristirahat dari hujatan itu. karena bukan hatinya yang berperang, bukan dirinya yang menyerang, sekali lagi bukan. Tetapi yang menyerang adalah nafsunya yang dikendalikan syetan. Merekalah yang menyerangnya.
Mungkinkah ia akan menerima dengan hati ketika saya lari-lari kemudian berteriak lantang membangunakan dia yang lagi tertelap tidur dan terbuai dengan mimpinya sedang rumahnya terbakar dengan api yang sangat besar? Apakah dia akan menerima teriakan saya sebelum dia mengetahui bahwa rumahnya terbakar api? Tentu tidak....dia akan marah dan segera melancarkan hujatannya kepada saya karena dia merasa dibangunkan dengan paksa dan membuyarkan mimpi-mimpi indahnya.
Maka, dia akan meminta maaf dan sangat berterimakasih dengan setinggi-tingginya jika ternyata ia mengetahui bahwa ada bahaya yang sedang mengancamnya. Ada api yang siap melahapnya. Bahkan iapun akan mengatakan,’ terimakasih, sungguh kamu telah menyelamatkan saya. Saya berhutang budi besar kepada kamu.’

Allah,,,
Berilah saya kekuatan,
Perbaharuilah kapak keimananku,
Terangilah jalan-jalan saya yang amat buram dalam pandangan saya,
Dan berilah kesadaran diatas kesadaran atas saya, teman saya dan kepada manusia seluruhnya.
Sungguh, saya mencintai mereka layaknya saya mencintai diri sendiri...
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Refleksi Syah Dasrun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger